Salah satu pembelian alutsista TNI yang paling mengguncang dan ramai dibicarakan adalah pembelian satu frigat Sigma 10514 dari Damen Schelde Naval Shipbuilding – Belanda, seharga 220 juta USD. Tragisnya, PT PAL hanya mendapatkan nilai pekerjaan 7 juta USD atau senilai kurang dari 3%. Transfer of technology sebesar 3 %, bisa dikatakan nyaris tidak ada artinya atau basa basi semata, untuk memenuhi syarat ToT yang ditetapkan pemerintah RI.
Lalu bagaimana dengan rencana pembangunan Light Frigat Nasional/ Kapal Patroli Kawal RUdal (PKR) yang dicanangkan sejak tahun 2007 ?. Apakah akan kembali dipesan ke Damen Schelde Naval Shipbuilding – Belanda ?.
Menurut Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin, Belanda membolehkan transfer teknologi (ToT) dengan syarat Indonesia membayar 1,5 juta USD. Hal ini belum termasuk ToT instal sistem senjata yang juga dikenakan biaya khusus.
Keganjilan itu membuat mantan Sekretaris Presiden Mayjen (Purn) TB Hasanuddin berencana melayangkan protes kepada Kementerian Pertahanan, yang merupakan rekan kerja dari Komisi 1 DPR RI.
“Mengapa harus memaksakan diri membeli dari Belanda? Padahal pabrik kapal Orrizonte dari Italia menurut PT PAL sudah menawarkan diri bekerjasama membangun kapal itu di Indonesia dengan local content minimal 25% dan siap melibatkan perusahaan lain di dalam negeri seperti PT Pindad, PT Karakatau Steel dan lain-lain,” ujar Hasanuddin.
Sikap pemerintan yang terkesan bersikeras untuk bekerjasama dengan Damen Schelde Naval Shipbuilding – Belanda, memunculkan tanda tanya besar. Padahal Indonesia sudah memiliki pengalaman buruk dengan Damen Schelde Naval Shipbuilding tentang pengadaan 4 Korvet Sigma.
Pembelian alutsista dari Damen Schelde Belanda dianggap bertentangan dengan semangat Keputusan Presiden Nomor 35 Tahun 2011 tentang pengadaan Alutsista, terutama pasal 4 ayat 2 (d): “Dalam pemenuhan kebutuhan Alutsista TNI sekurang kurangnya memiliki syarat alih tehnologi/produk bersama untuk kepentingan pengembangan industri pertahanan dalam negeri.”
Ada keterangan yang menarik dari PT PAL, tentang rencana kerjasama membuat Kapal PKR. PT PAL mengaku lebih cocok bekerjasama dengan Galangan kapal Orizzonte Sistemi Navali (Fincantieri), Italia, dibandingkan Damen Schelde Belanda. Alasannya, Damen Schelde tidak memberikan transfer teknologi yang berarti bagi PT PAL.
Bahkan PT PAL telah mempublikasikan Light Frigate Mosaic 2,2 Fincantieri Italia, sebagai Kapal PKR yang akan dibangun oleh PT PAL, Surabaya. Galangan kapal Orizzonte Sistemi Navali (Fincantieri) juga bersedia membangunn Light Frigat di Indonesia dengan ToT 25 %. Namun Kementerian Pertahanan tetap saja memilih Damen Schelde Belanda.
Frigat Orrizonte
Apakah Frigat Orrizonte Mosaic 2,2 yang ditawarkan Italia buruk ?.
Light Frigat Orrizonte Mosaic 2,2 atau 2,4 buatan Italia telah dipesan oleh Israel. Selain itu, Fincantieri sedang membuat 21 Frigate/ Dstroyer FREMM (European Multi Mission Frigates), hasil kerjasama Italia dan Perancis. Dua frigat dengan panjang dan lebar 140 x 20 meter, telah diserahkan. Frigate kedua yakni ‘Virginio FASAN’ diserahkan akhir Maret 2012, ke pihak pemesan: Italia dan Perancis.
Dengan reputasi yang dimiliki oleh Fincantieri Italia ini, wajar banyak pihak yang merasa aneh dengan sikap pemerintah yang ngotot membuat Light Frigat ke Belanda.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah PT PAL yang bekerjasama dengan Damen Schelde, tidak siap membangun kapal PKR di Surabaya, sehingga Kementerian Pertahanan terpaksa membangunnya di Belanda ? Pertanyaan ini terkesan kontradiktif dengan keadaan di lapangan karena PT PAL telah mengosongkan satu dok, bahkan baja untuk PKR telah dipotong.
Kata kuncinya muncul ketika Kemneterian Pertahanan dan Mabes TNI menemui Duta Besar Belanda di Jakarta, Tjeerd F. De Zwaan. “Ya, kami meminta dukungan Belanda untuk lebih konsisten dalam supervisi pembangunan kapal tersebut, karena ada beberapa hal yang tidak bisa dikerjakan PT PAL,” ujar juru bicara TNI Laksamana Pertama TNI Iskandar Sitompul.
Hal ini bisa menunjukkan PT PAL memang belum siap secara teknologi ditambah lagi dengan Damen Schelde yang juga tidak mau terbuka untuk membagi teknologi Light Frigate Sigma. Akibatnya proyek pembangunan kapal PKR menjadi tertunda-tunda dan menghabiskan waktu yang tidak perlu.
Sementara dengan waktu yang berjalan, TNI AL dihadapkan pada target pemenuhan MEF (minimum essensial Force) tahun 2014. TNI AL akhirnya memilih jalan tengah dengan terlebih dahulu mengejar kebutuhan kuantitas MEF.
Dana pembangunan kapal PKR dialihkan sebagian untuk membeli 3 Light Frigate/ Korvet Nakhoda Ragam Class milik Brunei Darussalam, seharga 300 juta USD.
Sementara sisanya 200 juta USD dibelikan 1 Light Frigate Sigma 10514 yang rbaru ampung di awal tahun 2017. Light Frigat Sigma ini tentu tidak dilengkapi senjata dan electronic walfare, karena harganya terlalu murah. Maroko membeli Light Frigate Sigma 10513 seharga 400 juta USD, hampir dua kali lipat harga Sigma 10514 Indonesia. Kemungkinan pengadaan persenjataannya, diambiil dari anggaran tahun 2014 ke atas, karena Frigate pun baru rampung awal tahun 2017. Termasuk anggaran untuk ToT perakitan kapal dan sistem senjata. Kasus ini mirip dengan pengadaan pesawat tempur Sukhoi TNI AU.
Pemerintah sebenarnya nyaris melepas proyek Light Frigate Sigma 10514. Hal ini diindikasikan ketika Kemenhan dan Mabes TNI, mempertanyakan keseriusan Belanda tentang pembangunan kapal PKR, kepada Duta Besar Belanda di Indonesia. Namun di saat dead-lock tersebut, TNI pun berniat mendatangkan main battle tank/ MBT Leopard dari Belanda.
Rencana pengadaan MBT Leopard 2A6 sempat terkendala, sehingga Indonesia mencoba membelinya ke Jerman. Namun tak lama kemudian Belanda mengizinkan pembelian MBT Leopard 2A6. Dua minggu kemudian, muncul lagi beritau, pemerintah RI dan Belanda sepakat membangun satu Sigma 10514 di Belanda. Tampaknya pembelian dua alutsista berbeda ini, dijadikan dalam satu paket negosiasi.
Sebagian dari 100 MBT Leopard untuk TNI AD didatangkan dari Jerman. Dan jangan lupa, ketiga korvet Nakhoda Ragam milik Brunei Darussalam, saat ini sudah dilego dan berada di Galangan kapal Lursen Jerman.
Ketiga Light Frigate Nakhoda Ragam sudah 10 tahun bersandar di Lursen , sehingga akan direpowering oleh TNI. Negosiasi pembelian MBT Leopard dari Jerman, ToT sistem senjata Leopard dan pembelian plus repowering Light Frigate Nakhoda Ragam, tampaknya menjadi satu paket.
Dengan adanya lika liku diplomasi dan pengadaan Alutsista seperti itu, akan membuat Rencana postur TNI AL 2004-2029 akan banyak dievaluasi dan direvisi. Diharapkan evaluasi dan revisi tersebut tidak mengubah Blue Print Postur TNI AL ke depan.
Dengan banyaknya kebingunan dan tanda tanya tentang pembelian Alutsista TNI AL, menunjukkan Blue Print Postur TNI AL belum jelas atau belum disosialisasikan dengan baik. Rakyat berhak mengetahui secara garis besar postur pertahanan militer mereka, karena rakyatlah pemangku kekuasaan tertinggi di Indonesia. (Jkgr).