Ketergantungan pada peralatan produk luar negeri dapat dikurangi dengan penguasaan dan penguatan teknologi. Penguatan teknologi dapat dicapai dengan memposisikan litbang, perguruan tinggi, dan industri menjadi unsur utama untuk mendukung menuju kemandirian industri pertahanan dan keamanan.
Dalam pelaksanaan penelitian dan pengembangan produk teknologi pertahanan dan keamanan diperlukan SDM yang berkualitas dan pemberdayaan institusi litbang dan industri nasional.Untuk pemberdayaan tersebut, pemerintah mendorong dan melindunginya dengan kebijakan yang berpihak pada penggunaan produk dalam negeri. Dalam upaya meningkatkan kemandirian diperlukan kebijakan yang memacu kemampuan nasional dalam memenuhi kebutuhan alutsista dan peralatan serta sarana pendukungnya.
Di Indonesia, ada tiga metoda penguasaan teknologi yang digunakan dalam pemberdayaan penelitian dan pengembangan yakni :
- Alih Teknologi atau Transfer of Technology (ToT) : dilakukan melalui lisensi atau pelatihan yang dilakukan dalam kegiatan yang berkaitan dengan pengadaan alutsista dari luar negeri.
- Forward Engineering : dilakukan denan meningkatkan kemampuan dan ketersediaan SDM dalam memahami berbagai bidang ilmu dasar dan ilmu terapan bagi penguasaan teknologi melalui tahapan “Idea-Design-Manufacturing-Testing”.
- Reverse Engineering : dilakukan misalnya dengan membongkar sistem senjata (produk) yang dimiliki untuk dipelajari dan dikembangkan menjadi produk baru sesuai kebutuhan.
Ketentuan dan Syarat pada Alih Teknologi
Penyerahan suatu atau beberapa hak teknologi (lisensi) dari lisencor kepada lisencee perlu ditundukkan pada sejumlah ketentuan dan syarat yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak karena dalam ketentuan dan syarat tersebut masing-masing menentukan “bussiness expectation” dari komitmen hukum yang diperjanjikan. Melalui ketentuan dan syarat tersebut hak (keuntungan yang diharapkan) dan kewajiban (pengorbanan) masing-masing pihak ditetapkan seimbang dan adil.
Diantara berbagai ketentuan dan syarat tersebut yang perlu mendapat perhatian utama diantaranya:
a. Eksklusifitas atau non-eksklusifitas
Pemberian dan penerimaan lisensi dapat bersifat eksklusif dan non-eksklusif, dapat ditinjau dari segi lisencor atau lisencee dengan kepentingan yang berbeda-beda. Untuk kepentingan pemasaran yang luas, Licensor biasanya menghendaki pemberian lisensi yang non-ekslusif, sehingga lisensi itu dapat digunakan oleh lebih banyak lisencee.
b. Pembatasan jenis kegiatan
Biasanya lisensi tidak diberikan tanpa batas, dan pembatasan tersebut dapat ditentukan dengan berbagai cara. Cara-cara tersebut diantaranya:
- Lisencee dapat menerima hak know how untuk memproduksi serta menggunakan merek dagang untuk menjual produk yang bersangkutan.
- Lisencee dapat menerima hak know how untuk memproduksi, tetapi hak menggunakan merek dagang diberikan kepada Licensee lain guna memasarkannya.
- Lisencee hanya mendapatkan hak untuk menggunakan merek perusahaan dalam menjalankan usahanya sendiri.
- Lisencee tergantung dari keadaan, bahkan dapat menerima hak know how, hak untuk mengembangkan, hak untuk memasarkan, termasuk mengekspor ke wilayah hukum lain.
Pengertian Alih Teknologi
Tentang istilah “alih” atau “pengalihan” merupakan terjemahan dari kata transfer. Sedang kata transfer berasal dari bahasa latin transfere yang berarti jarak lintas (trans, accross) dan ferre yang berarti memuat (besar). Kata alih atau pengalihan banyak dipakai para ahli dalam berbagai tulisan, walaupun adapula yang menggunakan istilah lain seperti “pemindahan” yang diartikan sebagai pemindahan sesuatu dari satu tangan ke tangan yang lain, sama halnya dengan pengoperan atau penyerahan. Pendapat inilah yang menekankan makna harfiahnya, pendapat lain dengan istilah “pelimpahan” sedangkan para ahli menghendaki makna esensinya dengan memperhatikan insir adaptasi, asimilasi, desiminasi atau difusikannya obyek yang ditransfer (teknologi).
Definisi teknologi di atas memang tepat karena technical know-how merupakan sesuatu yang menentukan bagi terciptanya peralatan guna memproduksi barang dan jasa. Dapat dikemukakan bahwa technical know how itulah yang memungkinkan terciptanya alat-alat itu. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa alih teknologi sebenarnya alih mengenai technical know-how, yaitu rahasia dibalik peralatan untuk memproduksi barang dan jasa.
Menurut Peraturan Pemerintah nomor 20 tahun 2005 definisi alih teknologi dikemukakan sebagai berikut:
“ Alih teknologi adalah pengalihan kemampuan memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badan atau orang, baik yang berada dalam lingkungan dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri ke dalam negeri atau sebaliknya.”
Pengertian Forward Engineering
Forward Engineering adalah sebuah proses pengubahan dari abstraksi level yang paling tinggi(Requirement) dan logik ke level design sampai ke level fisik (Code) dari sistem (kebalikan Reverse Engineering). Rekayasa yang dilakukan dimulai dari perencanaan (Idea), perancangan (Design), manufacturing, hingga penerapan, atau pada tahapan-tahapan pendek rekayasa, misal dari perancangan ke pembangunan saja. Rekayasa dilakukan mulai dari abstraksi yang lebih tinggi menuju ke setingkat atau beberapa tingkat lebih rendah.
Pengertian Reverse Engineering
Reverse engineering adalah sebuah proses untuk mencari dan menemukan teknologi yang bekerja di balik suatu sistem, perangkat atau objek, melalui sebuah proses analisa mendalam pada struktur, fungsi dan cara kerja dari sistem, perangkat atau objek yang di teliti. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa reverse engineering adalah sebuah proses peng ekstrakan informasi yang ada pada sebuah sistem.
Mengacu laporan yang di tulis oleh World Bank “Innovation Policy for Developing Countries” pada tahun 2010 menyarankan bahwa strategi yang paling tepat untuk negara-negara berkembang dalam pengembangan teknologi khususnya teknologi industri tidak harus memulai dari awal. Negara-negara berkembang dapat memulai dari existing technology kemudian dilakukan improvement untuk mengejar ketertinggalan. Proses improvement dari existing technology dapat diartikan bahwa reverse engineering menjadi starting point dalam proses pengembangan teknologi industri terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Kompetisi para ilmuwan kita yang sifatnya “parsial” perlu kita gabungkan, kita lebur, dan kita bangun berbagai tim. Niscaya, dengan bersinergi, tim-tim kita akan menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan “RAKSASA” di negeri kita (Dr. Nurul Taufiqu Rachman-Peneliti Material Nano).
Dalam rangka melakukan cuting edge teknologi di Industri, Pemerintah Korea menerapkan strategi pengembangan teknologi industri dengan melakukan reverse engineering sebagai starting point. Strategi tersebut cukup sukses untuk pengembangan produk-produk elektronika dan steel technology. Industri seperti Samsung dan Gold Star (sekarang LG) berhasil mengadopsi melalui reverse engineering teknologi- teknologi dari Eropa dan Jepang.
Sedangkan Industri seperti Pohang Steel Industryberhasil mengadopsi steel technology dari Jepang dengan melakukan reverse engineering termasuk mengirimkan tenaga-tenaga ahli ke Industri baja di Jepang. Dalam strategi tersebut, Pemerintah Korea memberikan dukungan dalam bentuk program program pendanaan untuk penguasaan teknologi di Industri khususnya untuk substitusi produk-produk import. Hasilnya dapat dirasakan pada awal tahun 2000-an sampai sekarang dimana Korea menjadi negara yang memiliki market share yang cukup besar di bidang elektronika.
Dalam rangka mempercepat proses penguasaan teknologi di industri khususnya melalui proses reverse engineering maka industri tidak harus memulai inovasi dari awal. Istilah yang dipopulerkan oleh BJ Habibie “berawal dari akhir dan berakhir di awal”. Artinya untuk kondisi industri di indonesia fokus yang harus dilakukan adalah mengembangkan prototipe skala lab dan prototipe skala industri kemudian dituntaskan dengan testing atau uji pada lingkungan sesungguhnya.
- Pada tahun pertama target pengembangannya adalah melakukan reverse engineering (starting point) untuk menghasilkan prototype skala laboratorium
- Pada tahun kedua target pengembangannya adalah menghasilkan prototype skala industri
- Pada tahun ketiga target pengem bangannya adalah menghasilkan prototype skala industri yang telah teruji pada lingkungan sesungguhnya
- Pada tahun keempat adalah fase pemanfaatan produk hasil litbang melalui pengadaan pemerintah atau jika usernya adalah private/swasta maka melalui pengadaan langsung oleh pihak swasta/private tersebut.
Pada tahap pengembangan produk teknologi, Pemerintah melalui Kementerian Ristek memberikan sharing anggaran untuk melakukan pengembangan produk teknologi industri. Di sisi lain, industri juga harus menyediakan sebagian anggaran untuk melakukan pengembangan produknya.
- R&D konsortium adalah Aliansi R&D antara pihak bisnis/ perusahaan, universitas/lembaga riset dan pemerintah untuk share cost dan resiko pelaksanaan pre-competitive R&D untuk mencapai tujuan bersama (Vinot Kumar, 1995).
- Konsorsium R&D adalah dikonotasikan sebagai Kerjasama R&D antara Perusahaan/Industri,Universitas/ Reseach Institute yang ditujukan untuk mendorong partisipannya khususnya Industri menjadi “Leadership” atau mampu bersaing dengan kompetitor internasional (Lee and Lee (1992).