Singapura — Mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew (91) meninggal dunia di Singapore General Hospital pada Senin (23/3/2015) pukul 03.18 waktu setempat.
Demikian pernyataan resmi dari Pemerintah Singapura seperti dilansir oleh Reuters, Senin.
Lee Kuan Yew memimpin Singapura sebagai perdana menteri selama 31 tahun sejak 1959 hingga mundur pada 1990. Sahabat dekat mantan Presiden Republik Indonesia Soeharto itu mempertahankan pengaruh di balik layar dengan menjabat sebagai menteri senior dan menteri mentor hingga mundur dari kabinet seusai pemilu 2011.
Hingga saat ini, Lee tercatat sebagai salah satu anggota parlemen terlama di dunia. Ia mewakili konstituen dari Tanjong Pagar selama hampir 60 tahun sejak 2 April 1955. Salah satu ucapan sosok berumur 91 tahun itu yang terkenal adalah pada tahun 1988 menjelang pengujung jabatannya, “Bahkan ketika saya sakit terbaring di tempat tidur, atau bahkan jika saya diturunkan ke liang kubur, jika saya merasakan ada yang salah dengan Singapura, saya akan ‘bangun’ kembali.”
Lee Kuan Yew Bapak Kemajuan singapura
Lee Kuan Yew berhasil mengubah pulau kecil Singapura menjadi negara dengan pencapaian ekonomi yang dikagumi di seluruh dunia.
Dengan pandangannya yang amat pragmatis, Lee Kuan Yew berhasil mengubah Singapura dari sebuah pulau kecil yang tidak memiliki sumber daya alam menjadi sebuah keberhasilan ekonomi.
Penggabungan antara kapitalisme negara dan pribadi yang diterapkannya menjadikan Singapura sebagai sesuatu yang sering disebut pengamat sebagai ‘keajaiban ekonomi’.
Di bawah kepemimpinannya, Singapura menjadi sejahtera, modern, efisien dan bebas korupsi sehingga para investor asing berdatangan.
Namun di balik keberhasilan ekonomi itu, banyak yang mengecam catatan hak asasi manusia di negara pulau tersebut.
Masa awal
Lahir pada 16 September 1923 di Singapura, Lee Kuan Yew merupakan generasi ketiga dari pendatang asal Tiongkok.
Dia dibesarkan dengan pengaruh Inggris yang kuat dan kakeknya memanggilnya dengan Harry Lee, yang menjadi nama panggilannya pada masa kecilnya.
Lee muda menjalani pendidikan di sebuah sekolah Inggris di Singapura namun pendidikan lanjutannya terganggu oleh pendudukan Jepang pada tahun 1942.
Selama tiga tahun dia terlibat dalam perdagangan gelap namun pada saat bersamaan menggunakan bahasa Inggrisnya untuk bekerja di departemen propaganda Jepang.
Setelah perang, dia terbang ke London untuk belajar di London School of Economics, LSE, sebelum pindah belajar hukum di Universitas Cambridge.
Ketika hidup di Inggris dia menjadi pemuja Radio BBC World Service dan ikut serta berkampanye untuk kawan satu universitas yang mencalonkan diri sebagai anggota parlemen untuk wilayah pemilihan di Devon, di London barat.
Lee -yang menganut ideologi sosialisme pada masa kuliah- pulang ke Singapura menjadi penasehat hukum serikat buruh yang terkenal.
Perdana menteri
Tahun 1954 dia mendirikan Partai Aksi Rakyat, PAP, dan sekaligus menjadi sekretaris jenderalnya yang pertama yang dijabatnya sampai hampir 40 tahun.
PAP meraih suara mayoritas dalam pemilihan umum 1959 dan Singapura lepas dari kendali Inggris.
Tahun 1963, Lee kemudian membawa Singapura bergabung dengan Malaysia namun rangkaian kekerasan antaretnis membuat Singapura keluar dari federasi dan menjadi merdeka sepenuhnya.
Walau lepas dari Malaysia, hubungan dagang dan militer tetap terjalin sementara Inggris mempertahankan pangkalannya di Singapura untuk mendukung pertahanan bersama Singapura dan Malaysia.
Dia pun mulai menerapkan program reformasi besar-besaran untuk mengubah Singapura dari yang pernah disebut ‘limbah kemelaratan dan degradasi’ menjadi negara industri modern.
Dan tak ada yang bisa menyangkal keberhasilan Lee Kuan Yew dalam reformasi tersebut.
Pengekangan politik
Untuk menjamin keberhasilan transformasi Singapura itu, Lee menerapkan pengendalian politik yang ketat atas aspek-aspek kehidupan, yang membuat negara itu menjadi masyarakat yang paling diatur di dunia.
Dia menangkap para pengkritiknya tanpa lewat pengadilan, membatasi kebebasan media dan penerbitan asing, termasuk menangkap sejumlah wartawan.
“Kebebasan pers, kebebasan media berita harus di bawah kebutuhan integritas Singapura,” katanya suatu waktu.
Untuk membenarkan tindakannya, Lee menuduh bahwa koran-koran didanai dari kepentingan luar negeri yang jahat.
Sebagian pengecamnya mengatakan tindakan itu tidak diperlukan karena dengan menguasai semua kursi di parlemen maka ada jaminan untuk dukungan penuh program-programnya tanpa mengambil langkah-langkah penindasan.
Lee, yang menegaskan dirinya anti-Komunis, malah dituduh menerapkan pemerintahan gaya komunis melalui kebijakan-kebijakannya.
Namun berbeda dengan negara komunis pada umumnya, rakyat Singapura menikmati keuntungan ekonomi dari gaya kepemimpinan Lee. Dari tahun 1960 hingga 1980, pendapatan per kapita Singapura meningkat sampai 15 kali lipat.
Lee dan Deng
Israel menjadi model dalam program kependudukan karena negara kecil itu dikelilingi oleh musuhnya: negara-negara Arab.
“Seperti Israel, kami harus melompati tempat-tempat lain di kawasan dan menarik perusahaan-perusahaan internasional.”
Lee memahami pentingnya membangun hubungan yang baik dengan Tiongkok, yang terbantu oleh hubungan baiknya dengan pemimpin Tiongkok, Deng Xiaoping.
Saat berkunjung ke Singapura tahun 1978, Deng mengungkapkan kekaguman atas kebijakan ekonomi Lee, sementara Lee terkesan dengan reformasi yang diterapkan Deng di Tiongkok.
Dalam upaya membangun Singapura, Lee juga menempuh langkah-langkah pemberantasan korupsi dan mewujudkan kebijakan rumah murah serta program industrialisasi untuk menciptakan lapangan kerja.
Pada saat yang bersamaan dia merangkum etnis-etnis yang beragam untuk menciptakan satu identitas unik Singapura yang didasarkan pada multikulturalisme.
Masa kecilnya di sekolah tampaknya membuat dia percaya pada hukuman fisik.
“Saya duduk membungkuk di kursi dan mendapat tiga kali (pukulan). Saya tidak pernah mengerti kenapa para pendidik di Barat amat menentang hukuman fisik. Tidak ada bahayanya bagi saya dan kawan-kawan di sekolah.”
Rekayasa sosial
Kebijakan yang juga dilaksanakan dengan dengan ketat oleh Lee adalah keluarga berencana dengan memberi hukuman kepada orang tua yang memiliki lebih dari dua anak lewat sistem pajak.
Namun belakangan Singapura mendorong agar para perempuan tamatan universitas memiliki lebih banyak anak dengan mengecualikan mereka dari kebijakan keluarga berencana, yang masih diperlakukan bagi perempuan yang tidak tamat universitas.
Pemerintah Singapura secara sistematis berupaya untuk membentuk warganya agar berperilaku sopan, tidak bising, menyiram WC, dan tidak mengunyah permen karet.
“Kami disebut negara pengasuh,” kata Lee dalam salah satu wawancara dengan BBC.
“Namun hasilnya adalah saat ini kami berperilaku lebih baik dan kami hidup di tempat yang lebih bisa diterima dibanding 30 tahun lalu,” tambahnya.
Walau menikmati standar hidup tinggi, sejumlah para pemilih muda mulai menolaknya dan bergeser ke partai oposisi namun tetap saja partainya menang pemilu dengan suara mutlak.
Tahun 1990 Lee mengundurkan diri setelah meraih kemenangan dalam tujuh pemilu dan merupakan perdana menteri dengan jabatan terlama di dunia.
Di bawah kepemimpinannya, Singapura bertransformasi dari negara berkembang menjadi salah satu kekuatan ekonomi di Asia dan juga dunia.
Beberapa pihak berpendapat keberhasilan Singapura dibayar dengan pembatasan hak-hak pribadi dan media, namun formulanya jelas membuat Singapura, sampai saat ini, menjadi negara kecil dengan kekuatan besar.
“Di dunia yang berbeda, kita perlu menemukan niche (ceruk) untuk diri sendiri, satu sudut yang biarpun ukuran kita kecil, kita bisa tampil dengan peran yang berguna untuk seluruh dunia,” jelasnya dalam sebuah wawancara dengan stasiun TV Tiongkok tahun 2005. (kompas.com / BBC Indonesia).