Jakarta – Praktisi pertahanan, Laksda (purn) Soleman Ponto menilai pembebasan warga negara Indonesia (WNI) yang disandera Kelompok Abu Sayyaf, Filipina, tergantung keputusan politik pemerintah.
“Kalau kapal disandera masih agak mudah, kalau orang, itu keputusan politiknya gimana?” ujar Soleman Rabu (30/3/2016).
Berbeda dengan kasus penyanderaan Pesawat Garuda di Tahiland pada 1981 silam. Saat itu, operasi Woyla mampu membebaskan seluruh penumpang dengan selamat. Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) TNI ini menganggap penyanderaan ABK memiliki tingkat kesulitan tersendiri.
“Peluang seperti Woyla saya tidak thau pendekatan pemerintah. Kalau Woyla gampang pesawatnya di situ. Tapi penyanderaan oleh Abu Sayyaf ini, di mana ditaruh orang-orang itu. Tingkat kesulitannya jauh dibanding Woyla,” ujarnya.
Soleman menambahkan, kasus penyanderaan 10 ABK murni tergantung keputusan politik pemerintah dan untuk masuk ke Filipina juga tidak mudah jika memang operasi militer dilakukan.
“Nah ini kan sama dengan kasus Sinar Kudus, tapi yang ditahan manusianya, itu memang repot. Apakah mau seperti Woyla atau mau dibayar. Ini sangat ruwet, keputusan politiknya bagaimana? Inikan ditahan di darat, tidak tahu lagi di mana di daratnya, apakah mau dibayar atau mau kirim pasukan pembebasan? Ini ada hubungannya dengan Filipina, dan masuk ke wilayah itu tidak mudah,” ujar Laksda (purn) Soleman Ponto.
Sumber : Okezone.com