Klaten – Sepuluh awak kapal Brahma 12, yang disandera kelompok Abu Sayyaf di Sulu, Filipina selatan, dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama tiga orang, yaitu kapten kapal, kepala kamar mesin, dan teknisi. Kelompok kedua, tujuh awak kapal, termasuk nakhoda, Bayu Oktavianto, 22 tahun.
“Dua kelompok ditempatkan di rumah yang berbeda, tapi masih satu kampung atau di wilayah yang sama,” ujar Sutomo, 49, setelah menerima telepon dari PT Patria Maritim Lines Banjarmasin, 1/4/2016. Sutomo merupakan ayah Bayu Oktavianto, 22, warga Dukuh Miliran, Kecamatan Delanggu, Klaten.
Dalam percakapan lewat telepon selama sekitar 5 menit, Sutomo mengatakan perusahaan tidak menjelaskan alasan kelompok Abu Sayyaf membagi sepuluh awak Brahma 12 dalam dua kelompok. “Pihak perusahaan yang menghubungi saya, hanya bilang mereka dipisah dan masih dalam kondisi sehat,” ujar lelaki 48 tahun itu dengan mata berkaca-kaca.
Untuk membuktikan kesehatan para sandera selama di Filipina, kelompok Abu Sayyaf pernah memberi kesempatan salah satu awak Brahma 12 asal Makassar untuk menelepon keluarganya. Waktu menelepon hanya dibatasi 5 menit. “Itu cerita dari perusahaan saat menghubungi saya, Rabu malam lalu,” ujar Sutomo.
PT Patria telah berupaya melacak nomor telepon yang digunakan awak Brahma 12 itu. Namun hasilnya nihil. “Komunikasinya satu arah. Hanya kelompok pembajak yang bisa menelepon perusahaan. Jadi perusahaan sifatnya hanya menunggu,” ujar Sutomo.
Sutomo menambahkan, pembajak memilih langsung menelepon ke kantor pusat PT Patria di Jakarta. Setelah mendapat kabar dari Jakarta, kantor cabang di Banjarmasin menghubungi keluarga para awak kapal Brahma 12.
Istri Sutomo, Rahayu, mengaku sangat cemas memikirkan keselamatan anaknya. “Apa salah anak saya? Dia anak yang baik, berbakti pada orang tua,” ujar Rahayu.
Meski sedang menanggung kesedihan, perempuan 47 tahun ini tetap harus berangkat kerja demi menghidupi ketiga adik Bayu. “Hari ini saya giliran masuk shift malam. Suami inginnya saya izin libur karena sedang menghadapi masalah seperti ini,” ujar Rahayu, yang bekerja sebagai buruh di pabrik tekstil di Sukoharjo, Jawa Tengah.
Sumber : Tempo.co