Pemerintahan Obama telah memberhentikan penjualan bom tandan (cluster bomb) ke Arab Saudi. Pasalnya, Arab Saudi diduga telah menggunakan bom tandan dalam serangan ke Yaman yang telah menyebabkan kematian ratusan warga sipil, termasuk anak–anak.
Berdasarkan laporan dalam jurnal Foreign Policy, yang mengutip dari keterangan para pejabat terkait di Amerika Serikat, pihak Gedung Putih secara diam-diam telah menangguhkan pengiriman amunisi mematikan itu ke negara Kerajaan Islam Sunni tersebut lantaran telah menyebabkan pertumpahan darah dalam serangan ke kelompok pemberontak Syiah Houthi di Yaman.
Sejak Maret 2015 lalu, koalisi yang dipimpin Arab Saudi gencar melakukan serangan udara ke Yaman, menyasar aliasi Iran di Yaman, yakni kelompok pemberontak Syiah Houthi. Perang ini semakin memanas pasca–eksekusi mati ulama Syiah di Arab Saudi, Nimr al-Nimr, Januari 2016 lalu.
Pejabat pemerintahan terkait di Amerika Serikat juga telah mengonfirmasikan bahwa pihaknya telah menerima laporan terkait dugaan pengunaan bom tandan oleh koalisi yang dipimpin Arab Saudi dalam konflik bersenjata di Yaman, termasuk di daerah-daerah yang diduga banyak warga sipil. Namun hingga kini, informasi tambahan dan sejumlah bukti kuat masih akan terus dikumpulkan.
Pasalnya, menurut kepala persenjataan Human Rights Watch (HRW), jika Arab Saudi beserta sejumlah rekan koalisinya, begitu pula dengan penyedia amunisi, yaitu Amerika Serikat, masih terus menggunakan bom tandan, maka secara terang-terangan negara-negara tersebut telah mengabaikan ketentuan global, yang menyebutkan persenjataan jenis itu seharusnya tidak pernah digunakan dalam keadaan apapun, terlebih lagi kepada warga sipil. Sekelompok pakar dari PBB bahkan mengatakan pihak koalisi telah melakukan 119 serangan yang melanggar hukum kemanusiaan, dan menuntut penyelidikan internasional.
Sejatinya, bom tandan dibuat untuk membubarkan konsentrasi pasukan darat (musuh) dan menghancurkan konvoi kendaraan lapis baja atau landasan pacu pangkalan udara, bukan untuk menyasar target manusia.
Tanpa menyasar pada manusia saja, bom-bom kecil yang menyebar dalam area luas dari bom tandan ini bisa menjadi ancaman baru bagi warga sipil dalam jangka panjang. Pasalnya, tidak semua kepingan bom dari bom tandan ini langsung meledak saat dijatuhkan, tetapi bisa saja baru meledak dalam beberapa tahun kemudian.
Penggunaan bom jenis ini bahkan telah dilarang dalam perjanjian internasional tahun 2008 silam, namun Rusia dan Amerika Serikat, dua negara pemasok utama bom jenis tersebut tidak menandatangani perjanjian.
Amnesty International mengungkapkan bahwa penggunaan bom tandan oleh Saudi telah menciptakan ladang ranjau bagi warga sipil di Yaman. Hal inilah yang memicu para aktivis hak asasi manusia untuk menuntut pelarangan penjualan senjata ke Arab Saudi.
Sebelumnya, Amerika Serikat sendiri telah menjual bom tandan senilai jutaan dolar Amerika kepada Saudi dan bahkan memberikan amunisi lainnya sebagai bentuk dukungan militer.
Sebagai konsumen minyak terbesar di dunia, Amerika Serikat memang tidak menggantungkan diri pada minyak Timur Tengah karena negeri Paman Sam ini telah memperoleh kemandirian energi. Namun, kepentingan dan dukungan Amerika Serikat pada Saudi lebih didasarkan agar tetap terjaganya suplai minyak di kawasan Timur Tengah dan terjaganya hak eksplorasi perusahaan Amerika Serikat di kawasan tersebut.
Hal serupa sempat diungkapkan pengamat politik asal Amerika Serikat, Phil Butler, bahwa alasan Saudi terus-menerus membombardir Yaman karena “haus” akan cadangan minyak dan gas bumi. Konflik antara dua sekte Islam besar Sunni dan Syiah hanyalah menjadi alibi dan pengalihan isu konflik.