Jakarta Greater

Berita Militer dan Alutsista

Kenaikan Harga Rokok Rp. 50 ribu per bungkus Disinyalir Ditunggangi Pihak Asing

Wacana kenaikan harga rokok sampai Rp. 50 ribu per bungkus yang dihembuskan dan rencana akan direalisasikan pemerintah RI di bulan September 2016 mendatang, mulai menulai polemik. Ada sejumlah pihak yang mendukung wacana ini, namun juga tidak sedikit yang memberikan penolakan keras, karena pemerintah dinilai terlalu buru-buru dengan tidak mempertimbangkan secara cermat.

Perbandingan harga rata-rata rokok Malrboro di sejumlah negara.
Kenaikan Harga Rokok Rp. 50 ribu per bungkus Disinyalir Ditunggangi Pihak Asing 1

Pihak yang mendukung, wacana kenaikan harga rokok, diantaranya datang dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. YLKI mendukung usulan kenaikan harga rokok menjadi Rp 50 ribu per bungkus.

Jika ini benar direalisasikan artinya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) harus menaikkan tarif cukai signifikan supaya rokok dijual seharga tersebut.

Oleh karena itu, Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi mendesak Kemenkeu segera menaikkan tarif cukai rokok sehingga harga jual rokok di Indonesia setara atau lebih dari negara lain. Contohnya di Singapura, Malaysia dan Thailand yang menjual rokok seharga Rp 30 ribu-40 ribu per bungkus.

Tulus memperkirakan, jika harga rokok naik lebih dari dua kali lipat, misalnya dari harga Rp 15 ribu atau Rp 20 ribu per bungkus menjadi Rp 50 ribu per bungkus, maka pemerintah bisa mendapatkan kenaikan pendapatan cukai lebih dari 100 persen.

“Jika sekarang ini penerimaan cukai rokok Rp 150 triliun, maka dapat naik sampai Rp 350 triliun. Jadi tidak perlu tuh dana dari tax amnesty,” terangnya.

Dampak positif lainnya, dengan harga rokok Rp 50 ribu per bungkus diyakini Tulus, dapat menekan konsumsi rokok, utamanya kalangan remaja dan anak-anak. Ia mengaku, selama ini salah satu pengeluaran terbesar masyarakat miskin adalah untuk rokok.

“Kalau harga rokok lebih mahal, orang tidak akan membeli atau mengurangi konsumsi rokok, termasuk remaja dan anak-anak. Tapi menghapus (konsumsi rokok) tidak bisa,” ucapnya.

Syaratnya, kata Tulus, pemerintah harus mengeluarkan aturan pelarangan rokok dijual eceran atau ketengan. Menurutnya, sebagai barang kena cukai dan berdampak negatif bagi kesehatan, rokok harus dijual dengan harga lebih mahal.

Ketua YLKI, Tulus mendukung wacana harga roko dinaikan menjadi Rp. 50 ribu per bungkus.
Kenaikan Harga Rokok Rp. 50 ribu per bungkus Disinyalir Ditunggangi Pihak Asing 2

“Kalau butuh uang banyak, pemerintah harus secepatnya menaikkan cukai rokok. Apalagi anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan habis untuk meng-cover peserta yang punya penyakit akibat rokok,” paparnya.

Tulus juga menyebut bahwa industri rokok tak akan bangkrut jika harga rokok dinaikkan menjadi Rp 50 ribu. “Industri rokok tidak akan mati kalaupun harganya naik sangat mahal. Di negara lain juga dijual mahal,” katanya.

Sementara pendapat yang menentang wacana tersebut datang dari Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo. Yustinus berpendapat, harga rokok Rp. 50 ribu per bungkus jelas tidak masuk akal karena kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) tahun depan juga belum ditetapkan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (DJBC Kemenkeu).

Yustinus juga meyakini, kenaikan CHT tidak akan melonjak drastis dan tidak jauh berbeda dengan kenaikan tahun 2016 rata-rata sebesar 11,19 persen.

“Kenaikan harga rokok hingga Rp. 50.000 per bungkus itu tidak berangkat dari kajian yang benar. Pasalnya pengkaji ide wacana itu juga tidak memikirkan subsitusi dari industri hasil tembakau,” kata Yustinus, dikutip CNN Senin (22/8).

Jika memang benar harga rokok melonjak sedemikian tinggi, ia meramalkan dua hal buruk bakal terjadi. Pertama, industri rokok akan rontok karena produknya tidak ada yang terjual. Akibatnya pemerintah tidak mengantongi pendapatan dari CHT. Kedua, kenaikkan harga setinggi itu juga akan memicu kenaikkan peredaran rokok ilegal.

Harga jual rokok yang meroket juga akan berdampak buruk bagi petani tembakau, cengkeh, hingga pedagang asongan dan pedagang rokok kaki lima.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, menentang wacana pemerintah merealisasikan kenaikan harga rokok.
Kenaikan Harga Rokok Rp. 50 ribu per bungkus Disinyalir Ditunggangi Pihak Asing 3

“Ini bukan soal industri memberi dampak buruk atau tidak, tetapi substitusi pengganti industri hasil tembakau (IHT) tidak ada. Apakah sudah dipikirkan 6 juta pekerja yang terlibat di IHT bisa ditampung sektor lain?” tandasnya.

Yustinus juga berpendapat, tidak tepat membandingkan harga rokok di Indonesia dengan harga rokok di negara lain yang lebih mahal.

“Katakan harga rokok di Singapura lebih dari Rp100 ribu per bungkus, tapi dari sisi pendapatan per kapita masyarakat jelas sangat jauh jika dibandingkan pendapatan per kapita masyarakat di Indonesia. Itu hanya simplifikasi masalah,” tegasnya.

Penolakan senada juga disampaikan oleh Gerakan Masyarakat Tembakau Indonesia (Gemati) yang menilai gagasan menaikkan harga rokok hingga Rp. 50 ribu per bungkus hanya akan menguntungkan produsen rokok. “Pabrik yang diuntungkan, belum jaminan petani sejahtera karena belum tentu harga tembakau ikut naik,” kata Sekretaris Gerakan Masyarakat Tembakau Indonesia Syukur Fahrudin, Ahad,(21/08).

Syukur menilai gagasan menaikkan harga rokok hingga Rp 50 ribu per bungkus hanya sebuah tekanan terhadap pemerintahan Joko Widodo, yang belum meneken ratifikasi kontrol tembakau internasional atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). “Di sisi lain, kebijakan pemerintah belum dirasakan berpihak terhadap mata rantai pertembakauan,” Syukur menambahkan.

Syukur mencurigai wacana menaikkan harga rokok sengaja digerakkan kelompok antitembakau dengan agenda internasional. Menurut dia, naiknya harga rokok diasumsikan menekan konsumen rokok. Sedangkan sektor produksi bahan baku, yakni petani tembakau, diabaikan.

Ketua DPR RI sekaligus politisi Partai Golkar, Ade Komarudin, mendukung langkah pemerintah merealisasikan kenaikan harga rokok.
Kenaikan Harga Rokok Rp. 50 ribu per bungkus Disinyalir Ditunggangi Pihak Asing 4

Sementara dari kompleks senayan, Ketua DPR RI sekaligus politisi Partai Golkar, Ade Komarudin, menyetujui adanya kenaikan harga rokok hingga menembus Rp 50.000 per bungkus. Dalihnya, naiknya harga rokok bakal mengurangi kebiasaan masyarakat merokok dan rokok merupakan musuh bangsa.

Selain itu, menurut Ade, naiknya harga rokok hingga menembus 400- 500 persen tersebut , secara otomatis akan menaikkan pendapatan Negara dan APBN bakal terbantu.

Namun demikian persetujuan Ade terkait wacana tersebut, mendapat tentangan dari rekan satu partainya yang juga merupakan anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun. Misbakhun berpendapat pemerintah justru harus waspada terhadap agenda di balik wacana itu.

Misbakhun mengatakan, pemerintah harus diingatkan agar tidak terjebak pada kampanye anti-rokok yang ditunggangi kepentingan asing. “Saya bukan perokok. Tapi saya harus ingatkan agenda asing yang hendak menghabisi industri rokok kita,” ujarnya.

Jika pemerintah sampai menuruti ide tersebut, papar Misbakhun, maka industri rokok di dalam negeri akan gulung tikar. Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak itu menegaskan, saat ini saja industri rokok baik golongan industri kecil dan menengah sudah terpukul oleh kebijakan pemerintah tentang penerapan cukai rokok.

Secara kalkulasi, kata Misbakhun, jika harga setiap bungkus rokok rokok sampai di atas Rp 50 ribu maka industri rokok dalam negeri yang berskala besar pun akan rontok. Dan jika industri rokok dalam negeri gulung tikar, sambung Misbakhun, maka efek turunannya akan sangat serius.

Anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, bersikukuh menolak rencana pemerintah menaikan harga rokok, karena dinilai berdampak di sektor lain.
Kenaikan Harga Rokok Rp. 50 ribu per bungkus Disinyalir Ditunggangi Pihak Asing 5

“Jika pabrikan rokok gulung tikar, maka jutaan pekerja di sektor tembakau akan menganggur, dan catatan kemiskinan Indonesia akan semakin besar. Para petani tembakau jelas kena imbasnya dan berdampak pada perekonomian nasional,” ulasnya.

Wacana kenaikan harga rokok ini pertama kali diusung Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany. Thabrany mencetuskan ide ini bukan tanpa alasan, karena telah didasari hasil penelitian dan survey yang dilakukan pada 1.000 responden pada bulan Desember 2015 lalu.

Hasilnya, 41,3 persen responden menikmati rokok 1 – 2 bungkus per hari. Artinya, bila ditotal dalam satu bulan, seorang perokok aktif akan mengeluarkan biaya berkisar Rp. 450.000-Rp. 600.000 per bulan. Terkait hal itu, sebanyak 80,3 persen responden menyetujui kenaikan harga rokok untuk membiayai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). (marksman/ sumber : liputan6.com, cnnindonesia.com, tempo.co dan jpnn.com)

Share:

Penulis: