Belajar dari peperangan asimetris di Afghanistan, Irak, dan Suriah, muncul jenis senjata yang bernama IED (Improvised Explosive Device). IED adalah senjata yang dibuat dari berbagai macam peledak, seperti : ranjau, granat, dinamit, bahan bakar, dan juga peluru meriam. Meski senjata jenis ini sudah ada sejak PD 2, namun dampak yang besar baru dirasakan saat peperangan di 3 tempat tersebut. Pada invasi NATO ke Afghanistan misalnya, 66% korban jiwa dari pasukan koalisi disebabkan oleh IED.
Untuk memperkecil korban jiwa, pasukan koalisi mulai menggunakan kendaraan khusus yang diberinama MRAP (Mine Resistant Ambush Protected) vehicle, atau yang bisa disebut kendaraan tahan ranjau. Hal yang membuatnya demikian adalah adanya V-Hull atau badan bagian bawah kendaraan yang bentuknya menyerupai huruf V. Dengan V-hull, efek ledakan akan tersebar dan teralihkan ke daerah yang lebih luas, sehingga meminimalisir ledakan yang menembus lapisan armor kendaraan. Hal pendukung lainnya adalah ban yang dirancang khusus bisa lepas saat terkena ledakan, dan as roda yang dapat dipasang dengan ban baru. Dengan begitu, kendaraan MRAP dapat digunakkan kembali setelah terkena ledakkan.
Negara Indonesia kita ini juga sudah menggunakan MRAP, yaitu RG-31 dan Casspir buatan AfSel. Namun, di Indo Defence 2016 kemarin, kita bisa melihat bahwa Indonesia sedang membuat MRAP sendiri, berdasarkan Bushmaster buatan Australia. Agak terlambat dibandingkan dengan Malaysia, yang sudah melisensi 200 unit RG-34 sekitar tahun 2004 pada pabrik Deftech.
MRAP buatan Malaysia dan Indonesia
Negara tetangga kita, Malaysia sudah lebih dahulu memiliki pengetahuan untuk membuat MRAP. Sekitar tahun 2004, Deftech, perusahaan pembuat senjata dan ranpur Malaysia, sudah melisensi 200 unit RG-34. Pada tahun 2014, Malaysia sudah bisa membuat MRAP sendiri. Apakah itu ?
Deftech AV4 Lipan Bara
Deftech AV4 adalah MRAP Malaysia yang merupakan lisensi dari MRAP buatan Thailand, Chaiseri First Win FW4X4. Malaysia membeli sekitar 20 unit, di mana 6 diantaranya diproduksi Chaiseri Thailand dan sisanya oleh Malaysia dengan nama Deftech AV4 Lipan Bara (namanya berarti sejenis kelabang). AV4 dapat memuat 10 orang pasukan, ditambah 1 supir. Ditenagai oleh mesin 300 HP, dapat melaju 100 km/jam dan dapat menampung muatan 2 ton. Berat tempur 13 ton, perlindungan peluru setara STANAG 4569 level 2 (satu tingkat di bawah Anoa, dapat menahan peluru 7,62 mm biasa). Namun, untuk perlindungan terhadap ranjau, levelnya setara STANAG lv 3b di bawah badan (dapat menahan peledak 8 kg) dan lv 4a (10 kg di salah satu roda). Hal ini dicapai karena adanya V-hull. Untuk senjata, Malaysia memilih menggunakan minigun 7,62 mm, mungkin buatan Dillon Aero Amerika. Dimensi AV4 adalah PxLxT : 4,61 x 2,2 x 2 meter.
Bagaimana dengan Indonesia? Tidak mau kalah, Pindad juga melakukan inovasinya untuk memproduksi MRAP nasional.
Pindad Sanca MRAP
Pada Indo Defence 2016 kemarin Pindad menampilkan ranpur baru bernama Sanca MRAP (diambil dari nama ular pembelit), yang merupakan lisensi dari Bushmaster PMV buatan Thales Australia. Dengan mesin sekuat 300 HP, dapat melaju 100 km/jam. Dimensi PxLxT adalah 7,18 x 2,48 x 2,65 meter. Sanca buatan Pindad ini dilengkapi armor tambahan yang membuatnya berbeda dari Bushmaster. Berat tempur bushmaster 15,4 ton, sedangkan Sanca buatan Pindad ini mungkin lebih berat karena adanya armor tambahan itu. Sanca dapat menampung 9 pasukan ditambah 1 supir.
Untuk perlindungan terhadap peluru, Bushmaster sejatinya hanya berstandar STANAG lv 1 (dapat menahan peluru 5,56 mm). Namun karena Pindad sudah sering membuat Anoa yang proteksinya setara STANAG lv 3 (dapat menahan peluru 7,62 tungsten karbida/armor piercing), bisa jadi Sanca ini juga memiliki proteksi yang sama dengan Anoa. Dengan adanya V-hull, Sanca dapat menahan ledakan peledak lebih dari 8 kg (STANAG lv 3+). Untuk senjata, Sanca di Indo Defence kemarin dipasang Qimek RCWS buatan Rheinmetall dengan SMB 12,7 mm.
Bushmaster milik Australia. Perhatikan perbedaan armor samping dengan Sanca Pindad
Dengan adanya Sanca MRAP ini, dapat dibuktikan persaingan antara Pindad Indonesia dengan Deftech Malaysia. Malaysia melisensi First Win, 2 tahun selanjutnya pindad melisensi Bushmaster.Namun, sebenarnya ada 1 lagi MRAP buatan Indonesia. Apakah itu?
Tugasanda Turangga APC
Pada Indo Defence kemarin ada 1 lagi ranpur ber-V-hull buatan Indonesia. Namanya adalah Turangga (berarti kuda). Ranpur ini adalah buatan PT. Tugasanda, yang sebenarnya merupakan karoseri bus. Basis pengembangan Turangga adalah truk Ford F550 buatan Amerika. Berdimensi PxLxT : 6,47 x 2,4 x 2,45. Berat tempur 8,845 ton, dengan mesin berkekuatan 400 HP (lebih kuat dari mesin Anoa) dapat mengantarkannya melaju secepat 110 km/jam. Dapat memuat 10 penumpang + 1 supir. Level proteksi dari peluru adalah setara CEN level B6 atau STANAG lv 2 (tahan peluru 7,62 mm biasa), sedangkan proteksi dari ranjau adalah STANAG lv 2+ (diantara 6-8 kg, bisa dibilang tahan peledak 7 kg).
Proteksi ranjaunya yang lebih rendah dari Lipan Bara dan Sanca dapat dimaklumi, karena beratnya yang cuma 8,8 ton; bandingkan dengan AV4 dan Sanca yang mencapai 13 dan 15 ton. Hal ini dikarenakan lapisan baja Turangga lebih tipis. Namun Turangga masih dapat diberi add-on armor, yang akan menambah level proteksinya. Untuk senjata, dapat dipasang RCWS maupun senjata manual kaliber 7,62mm ; 12,7 mm atau pelontar granat 40mm.
Dari ulasan di atas, sekarang kita tahu bahwa industri pertahanan kita semakin berkembang, meskipun kadangkala tertinggal dari negara tetangga. Catatan terakhir, ternyata panser Badak buatan Pindad juga sudah dilengkapi V-hull. Anoa belum menggunakan V-hull, sedangkan panser negara tetangga seperti AV8 Deftech dan Terrex ST Kinetics sudah menggunakannya pada baseline-nya. Coba lihat gambar di bawah ini :
Ditulis oleh : AutoVeron