Jakarta Greater

Berita Militer dan Alutsista

Catatan Akhir Tahun : Memanfaatkan Kemampuan Litbang Anak Bangsa

Roket RX-550 Lapan

Yogyakarta – Indonesia sedang memasuki era membangun. Dan itu sudah dimulai sejak Joko Widodo mengatakan “kerja, kerja, kerja” dalam pidatonya sesaat setelah dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia di Gedung DPR/MPR, 20 Oktober 2014.

Presiden dalam pidatonya kala itu mengatakan kerja keras perlu dilakukan demi mencapai dan mewujudkan Indonesia yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Kalimat yang sama yang pernah disampaikan Bung Karno, Presiden Republik Indonesia pertama, saat memperkenalkan konsep Trisakti.

Sejak saat itu, dalam hal pembangunan fisik, pemerintahan era Presiden Joko Widodo ini bergerak cepat membangun berbagai fasilitas besar yang akan menjadi modal Indonesia bergerak maju mewujudkan Trisakti.

Sebut saja pembangunan fasilitas pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW), jalan tol Trans Sumatera, jalan Trans Papua, jalur kereta api Trans Sulawesi, kereta api cepat Jakarta-Bandung, enam pelabuhan utama yang dapat dilalui kapal-kapal besar berbobot 3.000 hingga 10.000 TeUS dan 24 pelabuhan pengumpul.

Berikutnya, 24 bandar udara hingga 2017 dan 45 hingga 2022, pengembangan “Mass Rapid Transit” (MRT) dan “Light Rapid Transit” (LRT) Jabodetabek, Bandung, dan Makassar serta beberapa proyek besar lainnya menjadi fokus pembangunan pemerintah.

Tidak semua memang teknologi untuk membangun seluruh fasilitas itu dimiliki Indonesia mengingat harganya sangat mahal, namun bukan berarti ilmunya tidak dikuasi anak bangsa.

Karena kondisinya sudah berbeda dengan era Pemerintahan Presiden Soekarno yang harus mengirim banyak mahasiswa ikatan dinas yang dikenal dengan sebutan “mahid” ke berbagai negara di dunia dulu untuk menguasai berbagai Ilmu dan teknologi, sebelum kembali membangun sendiri Indonesia.

Sekarang sudah banyak anak bangsa berotak cemerlang yang menjadi ahli dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), termasuk ilmu yang harus digunakan mengerjakan berbagai proyek infrastruktur yang telah disebutkan sebelumnya.

Namun, tidak seperti pada masa Pemerintahan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi begitu dipercaya sehingga peran lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan (Litbang) top.

Seperti, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Badan Tenaga Nuklir Indonesia (BATAN), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) begitu kuat dan selalu dilibatkan dalam setiap perencanaan pembangunan.

Dari mulai Sekretaris Utama BPPT Soni Solistia Wirawan, Kepala BPPT Unggul Priyanto, Kepala LIPI Iskandar Zulkarnain, Ketua AIPI Sangkot Marzuki hingga Presiden ke-3 B.J. Habibie mengungkapkan hal serupa. Mereka begitu “rindu” dan “mendamba” pucuk pimpinan negeri ini kembali “percaya” pada iptek dan kemampuan litbang anak bangsa.

Pembangunan negeri ini seharusnya berdasar dari kebijakan yang dibuat berdasarkan perhitungan ilmiah, bukan sekadar harapan ekonomi semata.

Sudah sangat jelas kemajuan suatu bangsa di era milenium ini bertumpu pada kemampuan penguasaan iptek, karenanya sudah sepantasnya tidak putus harapan, sebaliknya dukungan diperkuat karena proses litbang butuh waktu (bukan seperti menjentikkan jari), tenaga, dan biaya yang besar.

Tengok India yang tidak ragu membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terbesar di dunia, setelah udara kotor dari pembakaran sampah menyelimuti Delhi beberapa waktu lalu menjadi berita besar yang menyebar ke seluruh dunia. Demi memenuhi kebutuhan listrik sekaligus memberikan udara bersih bagi warganya mereka memilih membangun PLTS.

India pun telah mandiri meluncurkan satelit-satelitnya untuk mengorbit bumi, bahkan satelit A-2/Orari milik LAPAN pun mengorbit “menumpang” Roket PSLV C-30 milik mereka dari Bandar Antariksa Satish Dhawan, Sriharikotta, India pada 28 September 2015.

Libatkan ahli Indonesia Ambil saja satu dari banyak contoh dampak pendekatan ilmiah tidak “dilibatkan” dalam pembangunan di masa lalu, berapa banyak pelabuhan di berbagai daerah di Indonesia yang menghabiskan anggaran puluhan bahkan ratusan miliar rupiah yang akhirnya “mangkrak” atau tidak dapat difungsikan maksimal seperti yang direncanakan? Sudah jelas membangun pelabuhan itu tidak sekadar membangun, bukan pula sekadar ada lahan kosong berarti pembangunan langsung bisa dilakukan.

Ada banyak ilmu-ilmu pasti dan rekayasa yang perlu digunakan untuk membuat pelabuhan-pelabuhan dan fasilitas pendukungnya berfungsi baik setelah dibangun, termasuk persoalan pemilihan lokasi yang tepat.

Pelabuhan Sedau di Kota Singkawang (Kalimantan Barat) yang dibangun sejak 2010, Pelabuhan Swarangan di Kabupaten Tanah Laut (Kalimantan Selatan) yang dibangun sejak 2009 dan Pelabuhan Perikanan Tanjung Adikarto di Kabupaten Kulon Progo (Daerah Istimewa Yogyakarta) yang dibangun sejak 2004, merupakan beberapa di antara pelabuhan lain yang terkendala teknis maupun anggaran sehingga belum juga dapat beroperasi.

Setelah 12 tahun belum juga beroperasi evaluasi pembangunan Pelabuhan Perikanan Tanjung Adikarto di Kulon Progo dilakukan kali ini melibatkan BPPT untuk memverifikasi dan validasi desain pelabuhan dengan menggunakan simulasi model, sehingga dapat menggambarkan secara nyata kondisi yang terjadi pada waktu desain dibangun.

Saat ini pun model dari Pelabuhan Perikanan Tanjung Adikarto tersebut, masih bisa dilihat di laboratorium uji model fisik Balai Teknologi Infrastruktur Pelabuhan dan Dinamika Pantai (BTIPDP) BPPT di Yogyakarta. Saat hitungan analitik dan hitungan numerik tidak bisa menemukan atau meyakinkan persoalan apa yang sedang dihadapi maka simulasi model fisik digunakan.

Manager Uji Fisik BTIPDP BPPT Bagyo Widagdo mengatakan sendimentasi menjadi persoalan di Pantai Glagah, saat normalisasi dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dengan mengeruk bagian kiri pelabuhan justru sendimentasi jadi persoalan.

“-Breakwater’-nya kurang panjang sehingga menyebabkan sendimentasi dan pelabuhan tidak bisa digunakan. Kurang dari satu tahun sendimentasi akan balik seperti semula jika dikeruk,” ujar Bagyo.

Ceritanya mungkin akan berbeda jika sejak perencanaan kajian teknis seperti pengukuran lapangan, proses dan morfologi pantai hingga lingkungan pantai dilaksanakan.

“Sekarang itu kondisinya berbeda, kita (BPPT) dulu berada dalam lingkup Kementerian Riset dan Teknologi di jaman Pak Habibie menjadi Menteri. Jadi kalau pemerintah mau membangun sesuatu ya sudah pasti langsung kita kerjakan kajian teknisnya,” ucap Soni.

Kalau sekarang, justru BPPT yang harus mendatangi kementerian-kementerian yang kira-kira akan membutuhkan kajian teknis mereka untuk proyek-proyek yang pendanaannya berasal dari APBN maupun gabungan dari APBN/APBD dan swasta.

Persoalan transfer teknologi Beberapa proyek pembangunan merupakan proyek besar berteknologi tinggi seperti salah satu contohnya kereta cepat Jakarta-Bandung, tidak hanya menggunaan pendanaan dari luar negeri tetapi juga teknologi asing.

Menteri BUMN Rini Soemarno usai menghadiri MoU antara BPPT dan PT Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC) dan Indonesia Railway Manufacturer Association (IRCMA) sempat mengatakan alih teknologi dari proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung harus bisa membuat Indonesia menjadi pusat pembangunan kereta cepat di kawasan Asia Tenggara.

Namun, ternyata transfer teknologi apapun itu tidak sesederhana dengan hanya melakukan MoU saja. Dirjen Penguatan Inovasi Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) Jumain Ape mengatakan persoalannya yang dihadapi adalah “berperang” dengan orang asing, mereka akan takut jika Indonesia mampu berkembang menguasai teknologinya, karenanya transfer teknologi sulit berjalan.

Revisi aturan, menurut dia, seharusnya bisa membuat alih teknologi contohnya untuk kereta cepat bisa dilakukan. “Undang-undangnya sudah ada sebenarnya soal alih teknologi, tapi belum singkron. Harus ada turunan aturannya.” Transfer teknologi seharusnya ada di tiga Kementerian, yakni Kementerian Perindustrian, Kementerian Tenaga Kerja dan Kemristekdikti, dan yang ada saat ini baru MoU alih dan transfer teknologi.

Sedangkan draf Peraturan Pemerintah (PP) terkait Transfer Teknologi masih disiapkan, namun hanya untuk Kemristekdikti dan Kementerian Perindustrian.

Ada aturan-aturan terkait transfer teknologi yang harus dipikirkan, misalkan, 35 persen komponen harus lokal sehingga, menurut Jumain, litbang teknologi asing tersebut bisa dikembangkan di Indonesia. Jika tidak, jangan harap transfer teknologi akan terjadi.

Chandra HN

Share:

Facebook
Twitter
Pinterest

Penulis: