MELBOURNE – Pusat perencanaan untuk restrukturisasi dan rekapitalisasi dari Angkatan Laut Malaysia juga telah terpengaruh oleh sengsaranya anggaran negara, menyebabkan sebagian besar program mengalami kekurangan dana atau tidak didanai sama sekali, sebagaimana dilansir dari Defense News.
Rencana yang disebut sebagai 15 ke 5, diungkap pada tahun 2015, untuk pengurangan pesanan peralatan perang Angkatan Laut Malaysia dari 15 menjadi 5 untuk kapal perang dan kapal selam, yang diharapkan akan memangkas biaya kelestarian perawatan oleh pensiunnya kapal perang tua serta mengurangi jenis kapal yang dioperasikan oleh Angkatan Laut Malaysia pada tahun 2030.
Idealnya adalah 5 jenis kapal yang akan terdiri dari 12 unit kapal perang pesisir (LCS) yang dirancang oleh Perancis, 18 unit kapal patroli lepas pantai kelas Kedah, 18 unit kapal misi pesisir yang dirancang oleh China, 3 unit kapal pendukung multiperan (desain belum ditentukan) dan 4 unit kapal selam.
Baca juga Analisa: “Angkatan Udara Malaysia (TUDM) Menderita Karena Kekurangan Anggaran”
Dari jumlah tersebut, hanya terdapat 6 unit kapal patroli lepas pantai kelas Kedah bersenjata ringan yang sudah dalam pelayanan bersama dengan 2 unit kapal selam diesel listrik kelas Scorpene buatan DCNS Perancis.
Malaysia juga telah memesan 6 unit kapal perang pesisir (LCS) berdasarkan desain Gowind 2500 Prancis di bawah kontrak sebesar USD 2 miliar yang ditandatangani pada tahun 2011, dengan 2 unit kapal sedang dalam tahap konstruksi di Boustead Naval Shipyard Malaysia.
Kapal- berbobot 3.000 ton tersebut akan dipersenjatai dengan rudal anti kapal Kongsberg NSM dan rudal anti pesawat MBDA MICA, bersama dengan senjata 57 mm dan senjata 30mm serta tabung torpedo. Kapal pertama diharapkan akan dikirim kepada TLDM pada akhir 2019 atau awal 2020.
Malaysia juga telah mendorong maju program Kapal Misi Pesisir, menandatangani kontrak pada awal November 2016 dengan Administrasi Sains, Teknologi dan Industri untuk Pertahanan Nasional China untuk 4 unit kapal pertama dengan 2 unit kapal akan dibangun oleh galangan kapal Boustead Malaysia sementara 2 unit lainnya akan dibangun di galangan kapal China.
Belum ada desain kapal maupun nilai kontrak yang telah diungkapkan, namun diketahui bahwa untuk saat ini kapal hanya akan dilengkapi dengan persenjataan ringan, namun kedepannya akan dilengkapi dengan persenjataan tambahan dan sensor, akan tetapi keterbatasan anggaran dapat berpengaruh pada perlengkapan mereka. Berdasarkan rencana 15 ke 5, kapal ini akan menggantikan beberapa jenis kapal yang saat ini sedang dalam layanan TLDM, termasuk korvet kelas Laksamana.
Namun, seorang analis pertahanan Malaysia, Dzirhan Mahadzir mengatakan kepada Defense News bahwa prioritas TLDM ini masih harus memperkenalkan kapal pendukung multiperan atau MRSS, mengutip kesenjangan kemampuan angkutan laut strategis yang telah ditinggalkan akibat musnahnya kapal bekas Angkatan Laut AS dari kelas Newport News sebagai kapal pendarat tank KD Sri Inderapura menyusul kebakaran yang terjadi pada tahun 2009.
Mahadzir mencatat bahwa MRSS juga akan memungkinkan TLDM untuk melakukan operasi dukungan dan bantuan bencana kemanusiaan secara lebih efektif dan juga memindahkan pasukan serta peralatan dalam jumlah besar di mana angkutan udara tidak memungkinkan atau tidak tersedia.
Dalam artikel yang diterbitkan minggu lalu, Jakarta Greater menyebutkan bahwa pembuat kapal pelat merah Indonesia, PT PAL telah menandatangani nota kesepahaman dengan Boustead Naval Shipyard Malaysia pada akhir tahun 2016 untuk berkolaborasi pada program MRSS Malaysia, yang akan didasarkan pada desain kapal kelas Maksassar yang digunakan oleh Angkatan Laut Indonesia dan Angkatan Laut Filipina.
Singkatnya, harus dicatat bahwa tantangan keamanan yang paling mendesak dan menekan bagi Malaysia berada dalam domain maritim. Selain banyaknya pelanggar hukum dan bandit dari selatan Filipina selatan hingga negara-negara disebelah timur Malaysia, seperti halnya Indonesia dan Singapura yang telah bergulat dengan bajak laut di lepas pantai baik di Selat Malaka dan Laut China Selatan.
Ini lebih penting dari kebutuhan berpatroli di ladang minyak dan gas lepas pantai yang membentuk bagian signifikan dari arus pendapatan negara, dan untuk menegakkan klaim pada pulau-pulau yang disengketakan di Laut China Selatan.
Dengan anggaran yang tampak terus diperas tanpa akhir, akibat keterpaksaan itu TLDM harus terus mempertahankan kapal perang tua yang seharusnya sudah pensiun dan di tenggelamkan sebagai terumbu karang, menimbulkan keraguan lebih lanjut pada kemampuan Malaysia untuk mengamankan perairannya sendiri.