Purbalingga – Yayasan Panglima Besar Soedirman memperkenalkan teknologi Jenderalium Smart UAV (kolaborasi pupuk Jenderalium Biomineral Organik dan pesawat tanpa awak atau drone) kepada petani padi di Desa Limbasari, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, 22/5/2017.
Kegiatan yang dilakukan di sawah seluas 23,5 hektare milik Kelompok Tani Mulya, Desa Limbasari, Kecamatan Bobotsari, Purbalingga, 22/5/2017, diperagakan proses pemupukan menggunakan pesawat tanpa awak.
Ketua Umum Yayasan Panglima Besar Soedirman H. Bugiakso mengatakan “Food and Agriculture Organisation (FAO)” memprediksi bahwa pada tahun 2050 akan terjadi krisis pangan dunia.
Menurutnya, dibutuhkan usaha ekstra untuk mengatasi ancaman krisis pangan itu, yakni meningkatkan produksi pertanian hingga 60 persen.
“Sebuah tantangan yang tidak mudah mengingat terjadinya degradasi kualitas, konversi lahan pertanian, dan minimnya tenaga kerja khususnya di luar Pulau Jawa dan belahan dunia lainnya,” katanya.
Terkait dengan hal itu, pihaknya menggandeng Lockheed UAV Research Institute yang merupakan sebuah lembaga riset pesawat tanpa awak dari Wuhan, China, untuk melakukan riset teknologi aplikasi Jenderalium Biomineral Organik.
“Kerja sama yang dimaksud adalah mengembangkan pesawat tanpa awak (drone) untuk mengaplikasikan Jenderalium Biomineral Organik di semua jenis tanaman. Riset ini telah enam bulan berlangsung dan untuk tanaman padi mulai diluncurkan di Purbalingga pada 22 Mei 2017. Dengan teknologi drone ini, aplikasi Jenderalium Biomineral Organik hanya membutuhkan waktu 16 menit untuk 1 hektare sawah,” kata cucu Panglima Besar Soedirman itu.
Dengan demikian, ancaman krisis pangan dunia akan bisa diatasi karena mampu memperbaiki kualitas lahan dan meningkatkan produksi pertanian, sementara drone akan membantu pengaplikasian Jenderalium menjadi lebih efisien dan presisi.
Dalam hal ini, pesawat tanpa awak atau drone akan memetakan kondisi lahan dan memastikan seluruh bagian lahan teraplikasikan Jenderalium.
Tantangan dunia ke depan yang begitu kompleks membutuhkan sinergi lintas batas.
“Dunia mesti semakin terhubung dan terintegrasi. Sistem pertanian yang modern dan ramah lingkungan akan mampu menjawab persoalan produksi pangan,” katanya.
Akan tetapi, krisis pangan tidak saja soal produksi tapi juga distribusi.
Oleh karena itu, tidak cukup pula krisis pangan dunia hanya dijawab dengan peningkatan produksi semata.
Keterhubungan antarnegara-negara dunia adalah hal yang niscaya dalam menatap tantangan ke depan.
“‘One Belt, one road’,inisiasi pemerintah China mengenai keterhubungan dunia adalah salah satu jawabnya. Sinergi peningkatan produktivitas dan distribusi hasil pertanian adalah langkah besar dalam menghadapi krisis pangan dunia. Krisis yang akan melanda umat manusia, tak peduli ras, suku, dan agama,” kata Bugiakso.
Sementara itu, Chief Executive Officer (CEO) Lookheed UAV Research Institute Wang Kezhen mengatakan pihaknya memiliki tekat yang sama untuk mengatasi krisis pangan dunia.
Dia mengatakan kerja sama antara Lookheed UAV Research Institute dan Yayasan Panglima Soedirman tidak hanya sekadar meningkatkan hasil produksi, tetapi juga kembali menyuburkan lahan pertanian.
“Kami merasa terhormat. Kombinasi yang apik antara pupuk organik dengan teknologi drone akan memberikan kontribusi nyata bagi dunia. Ibarat ‘puzzle’, kami saling melengkapi,” katanya.
Dalam kesempatan terpisah, Direktur Program Jenderalium Octo Muharrom mengatakan Jenderalium merupakan pupuk organik yang terbuat dari ekstrak pasir vulkanik yang dikombinasikan dengan mikro organisme dan asam amino.
Jenderalium Biomineral Organik dapat digunakan sejak sebelum tanam hingga panen untuk menggantikan penggunaan pupuk anorganik atau kimia.
“Tujuannya untuk mengembalikan kesuburan tanah,” katanya.
Jenderalium Biomineral Organik sebenarnya sudah diperkenalkan di 23 provinsi dan berdasarkan pengamatan dapat menekan biaya produksi pertanian hingga 40 persen serta meningkatkan produktivitas sekitar 50 persen.
Dalam penggunaan pupuk anorganik khususnya pupuk bersubsidi pada tanaman padi, biaya produksi bisa mencapai Rp2,5 juta per hektare dan produksinya 5-6 ton per hektare namun dengan Jenderalium, biaya produksi sekitar Rp1,5 juta per hektare dan produksinya 8-9 ton per hektare.
Pemanfaatan Jenderalium Biomineral Organik merupakan bagian dari program #berlaRI, yakni Bertani Lestarikan Alam Republik Indonesia yang diinisiasi oleh Yayasan Panglima Besar Soedirman dalam rangka budi daya pertanian secara berkelanjutan dengan memanfaatkan pupuk organik.
Saat ini, program yang melibatkan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kementerian Pertanian itu sedang dilaksanakan di empat kabupaten sentra produksi pertanian di Jawa Tengah, yakni Brebes, Tegal, Pemalang, dan Purbalingga dengan total luas lahan demonstrasi (demfarm) lebih kurang 70 hektare.
Informasi yang dihimpun, Jenderalium saat ini sedang diaplikasikan di beberapa negara seperti Kamboja, China, Selandia Baru, dan Azerbaijan. Budi
Antara