Ankara – Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan pada Jumat, 2/9/2017 bahwa kematian ratusan orang Rohingya di Myanmar selama sepekan terakhir merupakan genosida yang ditujukan ke komunitas Muslim di kawasan itu.
“There is a genocide there. They remain silent towards this… Semua orang yang berpaling dari genosida yang dilakukan di bawah selubung demokrasi juga merupakan bagian dari pembantaian ini”, kata Erdogan pada perayaan Idul Adha yang diadakan Partai AK di Istanbul.
Erdogan telah lama mengambil posisi kepemimpinan di antara komunitas Muslim dunia. Ia mengatakan sudah menjadi tanggung jawab moral Turki untuk mengambil sikap terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di Myanmar.
Hampir 400 orang telah meninggal dalam pertempuran yang melanda bagian barat laut Myanmar selama sepekan, demikian data resmi yang baru, dilansir Reuters, 1/9/2017.
Angka tersebut dimuat di halaman Facebook resmi militer, dan menjadikan peningkatan tajam pada jumlah korban yang dilaporkan sebelumnya yang mencapai lebih dari 100. Pernyataan itu mengatakan bahwa 29 dari 399 orang tewas adalah gerilyawan, yang digambarkan sebagai teroris.
Sekitar 38.000 orang Rohingya telah melintas ke Bangladesh dari Myanmar, sumber-sumber di PBB mengatakan, sepekan setelah para pejuang Rohingya menyerang pos-pos polisi dan sebuah pangkalan tentara di negara bagian Rakhine, yang mendorong bentrokan-bentrokan dan ofensif balasan oleh militer.
#UPDATE Myanmar death toll surges to 400 as 30,000 Rohingya flee to Bangladesh https://t.co/8qEo70P9Ad pic.twitter.com/KOkAWUzd4e
— AFP news agency (@AFP) September 1, 2017
//platform.twitter.com/widgets.js
Tentara mengatakan melancarkan pembersihan terhadap “teroris garis keras” dan pasukan keamanan diberi pengarahan untuk melindungi warga. Namun, warga Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh mengatakan serangan dengan pembakaran dan pembunuhan bertujuan untuk memaksa mereka keluar.
Penanganan terhadap sekitar 1,1 juta Muslim Rohingya menjadi sebuah tantangan terbesar bagi Aung San Suu Kyi, yang telah mengutuk serangan tersebut dan memuji pasukan keamanan.
Peraih Nobel Perdamaian itu dikritik beberapa kritikus Barat karena tak bersuara terhadap pembantaian Muslim Rohingya oleh serangan brutal militer setelah terjadinya penyerangan Oktober.
Bentrokan dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh tentara telah menewaskan sekitar 370 gerilyawan Rohingya, 13 aparat keamanan, dua pejabat pemerintah dan 14 warga sipil, kata militer Myanmar pada Kamis.
Sebagai perbandingan, kekerasan pada 2012 di Sittwe, ibu kota Rakhine, menyebabkan tewasnya hampir 200 orang dan sekitar 140.000 lagi mengungsi, kebanyakan dari mereka adalah warga Rohingya.
Serangan tersebut merupakan peningkatan tajam dari kemelut yang terjadi sejak Oktober, ketika serangan serupa yang dilancarkan oleh geriyawan Rohingya dengan ukuran yang jauh lebih kecil terhadap pos keamanan, mendorong militer melakukan serangan balasan besar-besaran diikuti dugaan pelanggaran hak asasi manusia.
Lebih dari 150 gerilyawan Rohingya melakukan serangan terkini terhadap pasukan keamanan pada Kamis, di dekat desa-desa yang ditempati oleh masyarakat pengikut Hindu, kata “New Global Light New Myanmar”. Pernyataan itu menambahkan bahwa sekitar 700 anggota keluarga di desa-desa tersebut telah diungsikan.
Sekitar 20.000 lagi warga Rohingya yang berusaha melarikan diri, terjebak di daerah kosong perbatasan, kata sumber PBB. Pekerja bantuan di Bangladesh berjuang untuk meringankan penderitaan ribuan orang yang mengalami kelaparan dan trauma.
Sementara beberapa warga Rohingya mencoba menyeberang ke Bangladesh melalui darat, yang lain mencoba melakukan perjalanan berbahaya dengan menggunakan perahu, melintasi sungai Naf yang memisahkan kedua negara itu.
Presiden Erdogan menyatakan isu tersebut akan dibahas secara rinci ketika para pemimpin dunia mengadakan pertemuan dalam Sidang Umum PBB pada 12 September di New York. Reuters/Antara.