JakartaGreater.com – Sebuah laporan dari Inspektur Jenderal Departemen Pertahanan yang menyelidiki tuduhan bahwa Angkatan Udara AS (USAF) secara ilegal memberikan hukuman terhadap salah satu pilot yang khawatir tentang masalah hipoksia pada F-22 mengungkapkan betapa sulitnya untuk melindungi pelapor militer, seperti dilansir dari laman Project On Government Oversight.
Pada akhir 2011 lalu, Kapten Joshua Wilson dan Mayor Jeremy Gordon, pilot F-22 di National Air Guard Virginia, bersama dengan pilot lainnya didalam unit mereka untuk mengemukakan kekhawatiran tentang mengalami masalah hipoksia pada F-22.
Saat komandan menyuruh mereka terbang, mereka mengemukakan kekhawatirannya kepada Kongres, yang akhirnya muncul dalam berita 60 Menit. Dalam kasus Wilson, dia menggambarkan bahwa mereka sangat kebingungungan atas kurangnya oksigen pada F-22 sehingga dia tidak dapat mengingat di mana cincin darurat untuk mengaktifkan sistem generator oksigen terpadu (OBOGS). Sebuah filter pun telah ditambahkan demi mengatasi masalah ini, namun itu hanya membuat masalah menjadi lebih buruk.
Wilson tergolong beruntung karena ia bisa pulang dengan selamat. Pilot lain, Kapten Jeff Haney, meninggal saat mencoba menemukan cincin oksigen darurat. USAF bahkan menyalahkan kematian pilot karena kesalahan sendiri daripada mengakui kelemahan desain, terlebih Angkatan Udara kemudian merancang ulang cincin itu.
Setelah Wilson dan Gordon melaporkan ke Kongres, USAF mengeluarkan perintah bila kedua pilot tersebut tidak boleh dihukum, dan Kepala Staf USAF, Janet Wolfenbarger meyakinkan Komite Angkatan Bersenjata Senat bahwa mereka tidak akan dihukum.
Gordon memang tak menghadapi tindakan disiplin formal segera. Namun karir Kapten Wilson terhenti setelah dia mengungkapan masalah itu. Dia pun dikeluarkan dari daftar promosi, status penerbangannya ditinjau dan mendapat surat teguran.
Sementara itu Komandan National Air Guard berdalih bahwa USAF memberi hukuman bukanlah karena Wilson mengungkap masalah F-22, namun karena ia sudah menolak menerbangkan F-22 yang menurutnya tidak aman.
“Menolak untuk terbang”, kata Komandan kepada Inspektur Jenderal. Dia menggaris-bawahi keruntuhkan tatanan dan disiplin yang baik dan hal itu memiliki potensi untuk melemparkan pesawatnya dalam cahaya yang tidak menguntungkan kepada unit tugas aktif dimana mereka melakukan latihan bersama.
Sementara ketertiban dan kedisiplinan sangatlah penting dalam militer, mereka harus seimbang terhadap masalah keamanan yang signifikan. Laporan itu mengakui bahwa Wilson memiliki keyakinan yang wajar akan bahaya yang substansial dan juga spesifik terhadap keselamatan publik karena kecelakaan lainnya mungkin akan mengakibatkan tewasnya pilot dan pesawat terbang, yang bisa terjadi didaerah padat penduduk dalam waktu yang sangat singkat.
Laporan tersebut mengirimkan sinyal yang mengecilkan hati bahwa Komandan USAF lebih memprioritaskan reputasi mereka daripada keselamatan para pilot.
Masalah Seperti Pada F-22 Masih di Anggap Remeh
Para pilot masih terus melaporkan masalah terkait hipoksia dan juga masalah fisiologis lainnya di sejumlah platform tempur, serta masih ada kekhawatiran apakah pemimpin militer akan menangani masalah ini dengan cukup serius.
Misalnya, dalam program F-35 telah dilaporkan 29 episode fisiologis dan merumahkan armadanya di Luke Air Force Base (AFB) pada bulan Juni 2017 yang lalu setelah pilot melaporkan mengalami gejala seperti hipoksia. Selain itu, jet tempur US Navy pada musim panas lalu juga dilarang terbang setelah sejumlah instruktur pilot di tiga lokasi menolak terbang karena kekhawatiran mengalami hipoksia, seperti yang terjadi pada jet tempur F-22.
Pada musim semi dan musim panas, Angkatan Laut membumikan pesawat latih T-45 setelah pilot menolak terbang karena kekhawatiran hipoksia. “Ini adalah kejadian yang sangat kami pedulikan dalam komite ini yang harus pergi ke tingkat pilot sendiri dan menghindari terbang, sebelum kepemimpinan memahami kebutuhan untuk campur tangan”, kata Turner.
Sebuah tinjauan komprehensif mengenai masalah episode fisiologis yang melibatkan T-45 dan F/A-18, yang diamanatkan oleh Sub-komite dalam undang-undang otorisasi pertahanan tahun lalu, menemukan bahwa kurangnya pemahaman pemimpin tentang risiko yang dialami oleh pilot pada akhirnya menyebabkan kerusakan kepercayaan dan keyakinan bahwa tindakan perlindungan yang efektif telah dilakukan untuk mengatasi masalah keselamatan dan bahaya.
“Gagal menangani masalah ini secara memadai, memiliki efek langsung terhadap kesiapan keseluruhan armada dan mempengaruhi kepercayaan pilot serta kemampuan mereka untuk menjalankan misi. Karena bukan hanya kejadian ini yang terjadi, tapi juga karena kejadian ini telah terjadi berturut-turut”, kata Turner.
Dan alih-alih menanggapi masalah yang telah diajukan oleh pilot T-45, para pimpinan US Navy terus memperlakukan masalah ini seolah-olah bukan episode fisiologis, malah menyalahkan permasalahan pada pelatihan.
Mungkin permasalahan terbesar yang diungkapkan oleh laporan review komprehensif, Niki Tsongas menunjukkan, bahwa US Navy telah lupa untuk menempatkan manusia terlebih dahulu.
Alih-alih melibatkan komunitas medis untuk memahami dan mengatasi permasalahan tersebut, mereka malah memperlakukan masalah itu sebagai masalah pesawat terbang dan teknik, yang tampak kehilangan penglihatan akan nyawa pilot yang dipertaruhkan.
Angkatan Laut AS juga tidak pernah menggunakan laboratorium Angkatan Udara yang tersedia untuk menguji masalah output dengan sistem oksigen, meskipun sekarang ada pesawat yang mulai melakukan pengujian ini.
Sudah jelas sekarang bahwa masalah yang di angkat oleh Kapten Wilson dan Mayor Gordon bahkan lebih sistemik daripada yang awalnya telah dipahami. Sebenarnya ada banyak yang akan melapor, tetapi takut untuk tampil ke depan karena tanpa adanya perlindungan. Jika pemimpin militer menolak untuk mendengarkan permasalahan yang diajukan oleh pelapor, maka mereka akan terus membahayakan nyawa para pilot.