JakartaGreater.com – Jajaran rudal baru yang diumumkan oleh Presiden Vladimir Putin menarik perhatian besar. Namun, mereka belum beroperasi atau menjalani operasi uji coba. Pada tahun 2016, rudal anti-kapal Kh-32 untuk pembom strategis Tu-22M3 itu mulai beroperasi, seperti dilansir dari laman Navy Recognition.
“Karakteristik rudal anti-kapal Kh-32 yang sangat tinggi telah mengubah keseimbangan dalam peperangan di samudera dan teater laut”, kata Konstantin Sivkov, pakar di Militer-Industrial Courier.
Biro Desain Maritim Raduga telah mengembangkan rudal tersebut sejak tahun 1998. Kh-32 adalah modernisasi mendalam dari rudal jelajah anti kapal Kh-22 yang terkenal sejak penerbangan perdana tahun 1963, diterima beroperasi sejak 1968 dan hingga sekarang.
Dengan desain lambung seperti pendahulunya, ukuran dan berat rudal Kh-32 maupun Kh-22 adalah sama. Beratnya hampir 5.800 kg, panjang 12 m dengan diameter 1 m dan lebar sayap 3 m. Itu diangkut dengan suspensi yang sama dengan Kh-22. Sumber terbuka mengatakan bahwa hulu ledak Kh-32 tersebut lebih ringan. Kh-22 beratnya 900 kg dan Kh-32 hanya seberat 500 kg. Ruang kosong digunakan untuk membawa bahan bakar tambahan.
Rudal Kh-32 memiliki mesin yang lebih efektif dan kuat. Hal ini dibedakan oleh sistem penargetan radar terbaru dengan perintah radio sesuai menyesuaikan medan melalui altimeter.
Hulu ledak homing Kh-22 dioperasikan oleh set frekuensi tetap. Permasalahan dalam kompatibilitas elektromagnetik membatasi jumlah misil dalam salvo, dan rudal sangat rentan terhadap sarana peperangan elektronik modern. Namun kendali rudal Kh-32 bebas dari kekurangan tersebut. Para ahli mengatakan bahwa rudal Kh-32 itu sangat terlindung dari gangguan (jamming) memanfaatkan sumber emisi terbaru.
Lintasan Kh-32 memiliki tiga bagian: meluncur (mencapai ketinggian jelajah), menjelajah (berada diketinggian 40 km) dan menukik (untuk menyerang sasaran).
Para ahli percaya bahwa rudal Kh-32 dapat mengunci target dari bawah sayap pesawat yang memungkinkan operator untuk memilih sasaran. Namun, jangkauan 600 – 1.000 km tidak mungkin memberikan opsi seperti itu karena jaraknya terlalu besar bagi hulu ledak untuk mendeteksi dan melacak target. Radar pesawat pengangkut atau pesawat pengintai atau AEW juga tidak dapat melakukannya.
Jangkauan hulu ledak homing adalah 200 – 300 km. Operator memilih sasaran setelah mendeteksi grup kapal perang musuh dan mengirim perintah lewat radio. Rudal Vulkan dan pendahulunya Basalt beroperasi dengan prinsip yang sama seperti rudal jelajah proyek 1164.
Sudah jelas bahwa jarak tembak dalam penugasan teknisnya haruslah memungkinkan serangan tanpa memasuki pertahanan udara formasi kapal induk. Jangkauan intersepsi terjauh dari pesawat tempur AS yang berlayar dengan kapal induk adalah 700 km saat diarahkan oleh AWACS (E-2S Hawkai dan berbagai varian E-3).
Ini berarti jangkauan rudal Kh-32 harus 800 km yang menurut para ahli mengatakan itu antara 600 – 1.000 km. Semua sangat mungkin karena rudal Kh-22 dapat terbang lebih dari 350 km dengan teknologi tahun 1960-an. Dengan mesin yang lebih kuat serta ketinggian penerbangan 2x lebih tinggi maka akan meningkatkan kecepatan. Dan para ahli memperkirakan kecepatan jelajah dari rudal Kh-32 adalah 5.400 km/jam.
Akibatnya, rudal anti kapal yang diluncurkan dari ketinggian 1 – 13.000 m dan terbang pada ketinggian sekitar 40 km dengan kecepatan 1.500 m/detik. Rudal tersebut tidak memenuhi persyaratan siluman modern.
Mari kita analisis kemampuan pertahanan udara terbaru dan terkuat dari kapal jelajah rudal kelas Ticonderoga dan kapal perusak kelas Arleigh-Burke Amerika Serikat dengan sistem kontrol informasi Aegis dan rudal anti pesawat SM-6 terbaru.
Rudal RIM-174 SM-6 ERAM mulai beroperasi di Angkatan Laut AS pada tahun 2013. Ini dibedakan oleh hulu ledak radar aktif homing yang memungkinkan rudalnya punya kemampuan tembak dan lupakan. Itu meningkatkan efektifitas keterlibatan terhadap target yang terbang rendah juga yang diluar cakrawala dan memungkinkannya untuk menghancurkan target dengan data bidikan dari luar, misal dari pesawat AWACS.
Berat peluncuran SM-6 adalah 1.500 kg, jangkauannya adalah 240 km dan ketinggian maksimum adalah 33 km. Kecepatannya adalah 3,5 Mach atau hampir 1.000 m/detik. Manuver maksimum overload adalah 50G. SM-6 berhulu ledak kinetik (untuk sasaran balistik) atau fragmentasi (untuk sasaran aerodinamis) denga berat 125 kg yang dua kali lebih banyak dari keluarga rudal sebelumnya.
Kecepatan maksimum target aerodinamis yang dapat diserang oleh SM-6 diperkirakan adalah 800 m/detik. Probabilitas mengenai sasaran aerodinamis oleh sebuah SM-6 ini adalah 95 persen.
Perbandingan rudal Kh-32 dan SM-6 ini menunjukkan bahwa ketinggian penerbangan Kh-32 adalah 7 km di atas kemampuan menghancurkan rudal SM-6 AS dan hampir 2x kali lebih cepat dari kecepatan maksimum SM-6 untuk target aerodinamis, yaitu Kh-32 1.500 m/detik melawan SM-6 yang hanya 800 m/detik.
Namun itu tidak berarti Amerika Serikat tidak akan menembak rudal hipersonik. Sistem Aegis tentu dapat mendeteksi mereka dan memberikan informasi tujuan sebagaimana kemampuan rudal dan bahkan pertahanan satelitnya. Oleh karena itu, SM-6 tetap akan dilibatkan, untuk melihat sejauh mana itu efektif.
Karakteristik probabilitas hit biasanya disediakan untuk jangkauan dimana target tidak bermanuver dan terbang dengan kecepatan terbaik untuk menghancurkan. Dalam hal pertempuran nyata, probabilitas hit biasanya lebih rendah karena tujuan spesifik yang dibatasi oleh kecepatan manuver target dan ketinggiannya.
Kemampuan memukul SM-6 akan dipengaruhi juga oleh jangkauan deteksi hulu ledak yang aktif, ketepatan dari pendekatan untuk menargetkan area penguncian, manuver kelebihan beban dan kerapatan atmosfer yang dapat diterima, serta kesalahan dalam menentukan spesifikasi gerakan dari target oleh radar dan sistem kontrol informasi.
Semua faktor tersebut adalah hal utama yang menentukan apakah misil tersebut bisa menghubungi dan memilih jarak luput ke tingkat yang akan menjamin hulu ledaknya menghantam target manuver.