JakartaGreater.com – Pengunduran diri Menteri Pertahanan Jim Mattis pada hari Kamis dan pembalasan dendam Presiden Donald Trump dengan mempercepat menyiapkan pengganti pada hari Minggu menimbulkan adanya kekhawatiran apakah ada orang yang sekarang bisa melayani presiden, seperti dilansir dari laman Defense News.
“Saya berada di bandara kemarin”, kata Chuck Hagel, mantan Menteri Pertahanan pada era Presiden Barack Obama. “Saya bertemu 5 orang berbeda yang mengenali saya, mendatangi saya, semua warga negara melakukan hal yang berbeda dalam hidup mereka, tidak terikat di pemerintah atau politik sama sekali. Mereka semua sangat takut dan mengajukan pertanyaan … apakah tidak ada yang menghentikan orang ini?”
“Perasaan itu cukup kuat di seluruh negeri dan sah”, tambah Hagel.
Dari perspektif institusi, Kongres adalah yang memeriksa melalui tanggung jawabnya untuk pengawasan dan anggaran. Namun, penarikan pasukan dari Suriah yang dilaporkan menjadi dasar pengunduran diri Mattis dan penarikan pasukan dari Afghanistan, populer dikalangan pendukung Trump.
Banyak di antara pasukan dan veteran yang mempertanyakan perlunya melanjutkan perang 17 tahun yang sekarang, Trump tidak akan memerlukan persetujuan dari kongres AS untuk melaksanakan kedua manuver, kata Anthony Cordesman, Ketua Arleigh A. Burke pada Pusat Kajian Strategis dan Internasional.
“Sebagai panglima tertinggi, dia tentu saja memiliki kewenangan yang cukup pada program Angkutan Udara AS saat ini”, kata Cordesman. “Dia tentu bisa melakukan semua itu”. Dalam urusan lain, seperti mengakhiri komitmen pasukan Amerika Serikat di Korea Selatan, maka Kongres AS harus mempertimbangkannya, kata Hagel.
“Dalam masalah kebijakan strategis, presiden memang memiliki kekuatan konstitusional di bidang ini, tetapi keputusan tersebut tidak terkendali”, sebut Hagel. “Sebanyak apa pun itu jawabannya, Kongres AS harus keluar dari bayang-bayang dan benar-benar meningkatkan tanggung jawab konstitusional mereka untuk mengawasi Trump atas segala permasalahan nasional yang besar dan luas ini”.
Bagaimana jika personel militer menerima perintah yang dianggap ilegal?
Untuk perwira militer, pertama-tama mereka dapat mencoba untuk mengarahkan komandan ke hukum alternatif. Kepala Komando Strategis (STRATCOM) AS, Jenderal John Hyten baru saja ditanyai tentang hal ini tahun lalu.
“Jika perintah itu ilegal, tebak apa yang akan terjadi? Saya akan mengatakan, Tuan Presiden, perintah anda itu tidak sah”, kata Hyten kepada Forum Keamanan Internasional Halifax di tahun 2017.
“Coba tebak apa yang akan dia lakukan? Dia akan bertanya, Apa yang legal? Dan kami akan memberikan pilihan, kombinasi kemampuan untuk menanggapi apa pun situasinya, dimana begitulah cara kerjanya. Ini tidak rumit”, terangnya.
Namun, Trump sebelumnya melihat proposal alternatif sebagai bukti bahwa jenderal-jenderal utama tidak menghormati keputusan atau wewenangnya, seperti arahannya pada tahun 2017 untuk membunuh Presiden Suriah Bashar Al-Assad. Insiden tersebut pertama kali dilaporkan dalam buku Bob Woodward “Fear” dan dikonfirmasi secara independen pada Military Times oleh mantan perwira militer AS yang menyaksikan insiden itu.
Dalam hal itu, Mattis cuma menolak untuk memberikan perintah.
“Kisah tersebut benar”, kata pejabat itu. “Saya melihatnya sebagai esensi dari kesetiaan Mattis memastikan dia [Trump] untuk tidak melakukan sesuatu yang ilegal, dan dia melakukannya dengan cara yang sangat loyal”.
“[Trump] ingin membunuh seorang pemimpin asing, yang mana itu tidak boleh dilakukan”, kata pejabat itu.
Di bawah Kode Etik Seragam Peradilan Militer, para perwira dan tamtama harus mengikuti perintah presiden atau atasan, kecuali perintah jenderak itu bertentangan dengan Konstitusi, hukum Amerika Serikat, atau karena alasan lain di luar wewenang resmi mengeluarkannya.
Baik Hagel dan Cordesman menekankan bahwa mereka pikir itu tidak realistis bahwa Trump membuat keputusan drastis, seperti memerintahkan militernya untuk melakukan peluncuran rudal yang tidak beralasan.
“Saya rasa kita tidak berada di dekat titik itu sekarang”, kata Hagel.
Namun, jika personil militer benar-benar mengetahui Anda memberi perintah yang diyakini ilegal, maka mereka dapat tidak mematuhinya, kata Cordesman. “Ini akan segera membawa beberapa aspek dari pengadilan militer”.
Cordesman mengatakan bahwa dalam pengadilan militer, antara ketentuan dalam UCMJ dan opini publik, tidak mungkin seorang perwira atau tamtama akan dinyatakan bersalah. Dengan kata lain, itu akan sangat mahal dampaknya bagi bangsa, katanya.
“Pengadilan militer dengan jumlah pasukan yang signifikan banyak, itu akan menjadi mimpi buruk bagi semua orang”, terang Cordesman. Alternatifnya, jika personel militer mengikuti perintah yang melanggar hukum karena presiden yang memerintahkannya, itu akan kembali kepada mereka, kata Hyten.
“Anda akan masuk penjara”, kata Hyten mengatakan di konferensi Halifax. “Kau bisa masuk penjara seumur hidupmu”.