JakartaGreater.com – Dua buah penelitian yang baru-baru ini oleh RAND Corp dan Kantor Akuntabilitas Pemerintah (GAO) melukiskan gambaran suram dari Angkatan Udara Amerika Serikat, menurut laman National Interest pada hari Senin.
Studi dari RAND Corp meneliti tentang apakah Angkatan Udara AS memiliki kapasitas pada pertempuran dalam empat jenis konflik dimasa depan:
- Perang Dingin baru dengan Rusia atau China, disertai dengan konflik regional besar yang mirip dengan Perang Korea dan Vietnam
- Perang Dingin baru, disamping konflik regional singkat seperti Operasi Badai Gurun
- Operasi penegakan perdamaian seperti zona larangan terbang
- Kampanye kontra-pemberontakan
Berdasarkan pada data historis dari operasi Angkatan Udara yang sebenarnya dalam konflik tersebut, RAND memperkirakan apakah USAF dapat memenuhi permintaan untuk delapan kategori misi, termasuk superioritas udara, serangan, transportasi udara, pengisian bahan bakar di udara dan C3ISR (komando dan pengintaian).
Hampir tidak ada kasus yang dapat dipenuhi hingga 100 persen oleh Angkatan Udara AS, menurut perhitungan RAND. Dalam konflik regional yang panjang, Angkatan Udara hanya bisa memenuhi 62 persen serangan dan 65 persen kebutuhan serangan, tapi bisa memasok 92 persen dari permintaan tanker udara.
Dan ironisnya, skenario dengan kemungkinan pertempuran paling kecil adalah yang paling menguras tenaga bagi Angkatan Udara AS. Seperti yang dicatat oleh RAND, “mungkin hasil yang paling mengejutkan adalah bahwa pada masa depan yang ditandai dengan operasi penegakan perdamaian paling menekankan kapasitas”.
Perkiraan yang mengecewakan: dalam skenario zona larangan terbang, Angkatan Udara AS hanya dapat memenuhi 29 persen persyaratan C3ISR, 32 persen permintaan kapal tanker, 40 persen misi operasi khusus dan hanya 46 persen untuk misi pembom.
RAND mendapatkan angka-angka suram itu dari “zona larangan terbang berkepanjangan di Balkan dan Timur Tengah, yang membutuhkan rotasi terus-menerus dari platform tempur, tanker, dan C3ISR/BM [manajemen tempur]”. Dengan kata lain, operasi berkepanjangan – bahkan dari misi rutin seperti menegakkan zona larangan terbang – melebihi kemampuan Angkatan Udara AS.
Sementara itu, laporan GAO mengungkapkan bahwa dari tahun 2011 – 2016, Angkatan Udara dan Angkatan Laut AS gagal memenuhi tujuan ketersediaan armada pesawatnya. Memeriksa ketersediaan 13 model pesawat Angkatan Udara dan Angkatan Lautm AS, termasuk B-52, F-22, F/A-18 E/F dan AV-8B Harrier, GAO menemukan masalah yang cukup parah seperti:
- Keterlambatan depot pemeliharaan
- Suku cadang yang tidak lagi diproduksi
- Kekurangan mekanik
- Pesawat dipakai melebihi usia layanan.
“Ketika tujuan untuk ketersediaan pesawat tidak terpenuhi, pelatihan dan misi operasional mungkin tak terpenuhi tepat waktu sesuai kebutuhan”, GAO mencatat. “Misalnya, pejabat skuadron F-22 menjelaskan bahwa kurangnya pesawat yang tersedia menciptakan masalah kekurangan pilot terlatih”.
Pilot F-22 membutuhkan pelatihan ekstensif untuk dapat terpenuhi peran superioritas udara mereka. Selanjutnya, pejabat komando menjelaskan bahwa ketika tujuan ketersediaan untuk pesawat tidak terpenuhi, mungkin tidak ada cukup pesawat untuk menanggapi kebutuhan darurat.
Untuk bagiannya, Angkatan Laut AS telah mengocok pesawat untuk menjaga skuadron yang dikerahkan tetap kuat, meninggalkan unit yang tidak dikerahkan dengan pesawat yang tidak cukup untuk melaksanakan pelatihan rutin.
Ada solusi no-brainer yang biasa untuk Angkatan Udara Amerika yakni:
- Beli lebih banyak pesawat
- Perawatan yang lebih baik
- Kurangi penyebaran
Tetapi masalah yang sebenarnya adalah bahwa militer AS harus bersiap untuk berbagai misi, termasuk operasi penjaga perdamaian atau kontra-pemberontakan yang mungkin saja bukan perang-berat, tetapi pemeliharaan yang intensif. Dan semua itu pun harus dilakukan dengan armada pesawat yang mahal, menua dan sering rewel.