JakartaGreater.com – Departemen Pertahanan AS pada hari Selasa, meluncurkan strategi artificial intelligence atau kecerdasan buatan yang dalam bahasa keren disebut AI, seperti dilansir dari rilis pers Gedung Putih.
Strategi terbaru ini tidak menyebut pengerahan pasukan robot pembunuh, namun memetakan bagaimana militer Amerika akan mengadopsi pembelajaran mesin guna memberdayakan, bukan menggantikan mereka yang melayani di kepolisian. Ini juga menawarkan beberapa wawasan tentang Joint Artificial Intelligence Center (JAIC) yang baru dibuat, yang akan dipimpin oleh Letjen Jack Shanahan dari Angkatan Udara AS.
JAIC ini akan memiliki empat tema misi utama, yang akan mencakup:
- Percepatan pengiriman dan adopsi teknologi AI di seluruh departemen
- Membangun landasan bersama untuk meningkatkan jangkauan teknologi
- Menyinkronkan proyek-proyek AI Pentagon
- Menciptakan grup yang akan menarik dan mengolah tim AI kelas dunia
Dengan beberapa program percontohan yang saat ini sudah berjalan, dua proyek yang kini dilakukan melibatkan penggunaan teknologi AI untuk keadaan darurat kemanusiaan, khususnya memerangi kebakaran dan memprediksi dengan lebih baik kapan perbaikan perlu dilakukan pada berbagai peralatan militer.
Shanahan mengungkapkan selama perundingan “meja bundar” minggu ini, bahwa program pemadam kebakaran akan membantu responden pertama dalam melacak kebakaran hutan dengan lebih baik, seperti yang telah menghancurkan sebagian besar California dalam beberapa tahun terakhir.
“Anda akan melihat ada foto-foto orang di belakang truk pickup dengan asetat, ia merencanakan hal-hal tersebut secara manual”, kata Shanahan menurut laporan Business Insider. Sebaliknya, program percontohan saat ini akan “memberi suatu gagasan tentang seperti apa pemadam kebakaran itu dalam beberapa menit”.
Namun untuk melihat Terminator ini berjalan di jalanan Washington, dalam waktu dekat, itu sangat tidak mungkin. “Kami sama sekali tidak dekat dengan pertanyaan pasukan otonomi penuh yang kebanyakan orang tampaknya melompat jauh pada kesimpulan ketika mereka berpikir tentang Pentagon dan AI”, kata Shanahan.
Strategi AI ini dirilis hanya satu hari setelah Gedung Putih mengeluarkan perintah eksekutif, bertajuk “Mempertahankan Kepemimpinan Amerika dengan Kecerdasan Buatan”, yang menguraikan upaya Amerika Serikat untuk tetap “memimpin dunia dalam penelitian, pengembangan dan penyebaran AI”.
Sementara itu, pengembang teknologi web Chris Garaffa pada hari Jumat berkata bahwa dia tidak “menaruh kepercayaan kepada peta jalan Pentagon untuk AI”.
Banyak “senjata api dan sasaran” yang sudah dipergunakan oleh tentara Amerika beroperasi dengan tingkat otonomi tertentu, tanpa diperlukan intervensi manusia setelah suatu target teridentifikasi.
“Penggunaan AI menutupi fakta bahwa militer AS menggunakan banyak teknologi canggih yang tidak akan dianggap sebagai AI. Bahkan jika drone bersenjata yang terbang jarak jauh dari pangkalan AS tidak menggunakan AI untuk memilih dan meluncurkan rudal, itu sudah dapat menggunakan teknologi pengenalan gambar canggih untuk mengidentifikasi target potensial dan merekomendasikan ke mana harus menyerang”, katanya. “Memiliki manusia di ujung yang lain untuk menekan tombol terakhir tidak mengurangi drone itu menjadi mematikan”.
“Pemerintah AS mempelajari hikmahnya di Vietnam bahwa khususnya orang-orang Amerika tak menyukai perang yang melibatkan ribuan tentara Amerika yang pulang dalam kantong mayat. Pentagon pun tentu akan terus memakai teknologi canggih, apakah teknologi itu didukung oleh AI atau tidak”, lanjut Garaffa menekankan.
Sementara Shanahan mungkin telah mengabaikan sebuah gagasan tentang robot pembunuh berkeliaran, hanya waktu yang akan memberitahu apakah Badan Proyek Penelitian Lanjutan Pertahanan dapat mengembangkan suatu kreasi semacam itu, terutama mengingat bahwa agen tersebut berfokus pada peningkatan kemampuan perang AI canggih.