JakartaGreater.com – Dalam pidatonya di Majelis Federal tahun lalu, Presiden Vladimir Putin untuk pertama kalinya meluncurkan serangkaian senjata canggih Rusia, termasuk torpedo bawah air bertenaga nuklir Poseidon, rudal jelajah antarbenua, dan hulu ledak nuklir hipersonik, seperti dilansir dari laman Sputnik.
“Amerika Serikat akan memiliki masalah sehubungan rudal canggih Rusia di masa depan, itulah sebabnya mengapa perlu untuk memperpanjang Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis (START) baru sehingga mencakup persenjataan seperti itu”, kata Jenderal John Hyten, kepala Komando Strategis AS (STRATCOM) kepada Komite Layanan Bersenjata Senat pada hari Rabu.
“Saya khawatir bahwa sepuluh tahun [dari sekarang] dan seterusnya dengan torpedo, rudal jelajah dan senjata hipersonik, bahwa itu dapat sepenuhnya menuju ke arah lain, dimana kita akan mengalami kesulitan. Saya tidak punya masalah mengatakan saya bisa membela negara hari ini, dan saya pikir komandan setelah saya bisa, namun saya khawatir tentang komandan-komandan selanjutnya”, terang Hyten.
Dia secara khusus merujuk pada drone torpedo bawah air bertenaga nuklir milik Rusia, Poseidon, rudal jelajah antarbenua dan hulu ledak nuklir hipersonik, yang katanya tidak tercakup dalam Perjanjian START.
“Saya mendukung START baru, tapi Anda harus memiliki mitra yang ingin berpartisipasi”, kata Hyten, menambahkan bahwa ia ingin melihat perpanjangan START hingga tahun 2026 untuk mencakup sistem senjata baru Rusia.
Dia menambahkan bahwa sensor AS yang ada, dapat mendeteksi dan menemukan semua rudal pada saat peluncuran, tetapi rudal hipersonik segera “menghilang dan kita tak akan melihatnya sampai efeknya dirasakan”.
Mengungkap kendaraan bawah laut Poseidon Rusia, dalam pidatonya di hadapan Majelis Federal, Presiden Vladimir Putin menjelaskan bahwa kendaraan-kendaraan itu mampu melakukan perjalanan dengan sangat mendalam dan memiliki jangkauan tak terbatas dan kecepatan beberapa kali lebih besar daripada yang dapat dicapai oleh kebanyakan kapal selam dan torpedo modern.
Menurutnya, drone semacam itu dapat dilengkapi dengan senjata konvensional dan senjata nuklir, yang akan memungkinkan mereka mencapai berbagai sasaran, termasuk kelompok tempur kapal induk, benteng pantai dan infrastruktur.
Perjanjian START Baru antara Rusia dan Amerika Serikat mulai berlaku pada tahun 2011 dan mencakup periode 10 tahun dengan kemungkinan perpanjangan 5 tahun.
Dokumen tersebut didasarkan pada beberapa pengaturan non-proliferasi bersama seperti sebelumnya dan membatasi jumlah rudal balistik antarbenua yang dikerahkan, termasuk rudal balistik yang diluncurkan kapal selam, pembom bersenjata nuklir, serta hulu ledak nuklir.