JakartaGreater.com – Di tengah-tengah meningkatnya ketegangan antara Washington dan Caracas, sejumlah tindakan AS dianggap sangat ilegal oleh pemerintahan Venezuela dan sekutunya. Mulai dari sanksi ekonomi yang keras hingga secara sepihak menyatakan calon yang disukai Barat, Juan Guaido, sebagai presiden sah negara itu. Padahal dia sebelumnya tidak pernah bertarung dalam pemilihan, seperti dilansir dari laman Military Watch.
Venezuela sendiri hanya melakukan relatif sedikit balasan terhadap Amerika Serikat, dan terus mengadopsi strategi bertahan yang sangat defensif, belum mengungkapkan rencana yang berarti untuk mencegah tekanan lebih lanjut atau tindakan agresif oleh Washington yang terus mengancamnya dengan aksi militer.
Andai saja Venezuela, sebuah negara kecil dunia ketiga dengan aset ekonomi yang dapat diabaikan di luar cadangan minyaknya, mencari cara untuk membalas pelanggaran yang lakukan oleh Amerika, mereka mungkin dapat menemukan jawaban untuk masalahnya pada Angkatan Udara, yaitu lewat armada kecil F-16 Fighting Falcon yang diperoleh dari Amerika Serikat pada tahun 1983.
Angkatan Udara Venezuela menjadi salah satu yang pertama di dunia yang menyebarkan jet tempur multiperan F-16 yang dirancang sebagai pelengkap yang lebih ringan dan lebih murah untuk pesawat bermesin kembar F-15 Eagle. Sebanyak 21 unit F-16 Fighting Falcon saat ini dalam pelayanan, 17 berkursi tunggal dan 4 berkursi tandem, berfungsi sebagai pelengkap yang lebih ringan untuk armada jet tempur superior Su-30MK2 Rusia yang baru-baru ini diakuisisi Venezuela.
Sementara Su-30 sebagai pesawat tempur kelas atas dan dengan margin signifikan yang paling mampu digunakan di mana saja dibenua Amerika diluar AS, kemampuan armada F-16 Venezuela agak tidak biasa. F-16 tidak hanya dirancang untuk misi udara-ke-udara kelas atas seperti Su-30MK2, tapi juga merupakan desain yang jauh lebih tua, lebih dari 40 tahun sejak 1978.
Sensor, kemampuan manuver, layanan ketinggian, jangkauan, daya angkut senjata serta kemampuan peperangan elektronika Su-30 Venezuela beberapa tiangkat di atas Fighting Falcon dan jet tempur buatan Rusia tersebut merupakan kekuatan pencegah terhebat atas kemungkinan serangan oleh Amerika Serikat maupun negara tetangga lainnya.
Armada Su-30MK2 dalam layanan Angkatan Udara Venezuela memiliki akses ke amunisi udara-ke-udara kelas atas, termasuk rudal R-27ER (130km) atau R-77 (110km). Sedang F-16A/B Venezuela sebaliknya tak memiliki amunisi udara-ke-udara jarak jauh, itu hanya mengandalkan pada varian AIM-9 Sidewinder yang lebih tua serta Python 4 Israel dengan jangkauan tempur hanya 15 km.
Sementara jumlah F-16 dalam armada Angkatan Udara Venezuela saat ini sangat terbatas, terutama karena kekurangan suku cadang setelah embargo senjata oleh AS terhadap pada negara tersebut, itu dapat memberikan aset yang berpotensi sangat berharga bagi negara sekutu Venezuela, terutama Rusia.
Perlu dicatat bahwa Amerika Serikat di masa lalu telah bersusah payah untuk memperoleh jet-jet tempur kelas atas Soviet dan Rusia, membelinya dari bekas sekutu seperti Mesir dan China atau dari negara-negara pasca-Soviet seperti Belarus. Angkatan Udara AS mendapat banyak manfaat dari akses ke platform seperti MiG-21 (dari Indonesia dan China), MiG-23 (dari Mesir), MiG-29 (dari Moldova) dan Su-27 (dari Belarus), tidak hanya mendapatkan kesempatan untuk mempelajari teknologi mereka, tetapi juga memungkinkan AS untuk memahami bagaimana mereka beroperasi dan apa keterbatasan dan apa potensi mereka didasarkan pada uji pengalaman terbang mereka.
Salah satu kegunaan terbesar yang dapat dilakukan AS dari para pejuang Soviet ini, yang secara luas dikerahkan oleh musuh potensial dari USSR ke Korea Utara, Iran dan China, adalah penempatan mereka ke skuadron agresor – di mana mereka diterbangkan sebagai “skuadron merah” di simulasi pertempuran udara melawan pilot Amerika – memberikan mereka pengalaman berharga dalam menghadapi jet ini.
Nilai F-16 bisa jauh lebih tinggi bagi Angkatan Udara Rusia, atau orang-orang dari musuh potensial AS seperti China, dibandingkan dengan dampaknya yang relatif sedikit yang saat ini diberikannya untuk pertahanan udara Venezuela. Terlebih, bahkan nilainya sebagai pelatih agresor untuk militer Venezuela dapat diabaikan, karena tidak ada negara tetangga yang menggunakan F-16 Fighting Falcon, sementara potensi serangan AS kemungkinan akan dipelopori oleh jet tempur yang lebih tinggi seperti F-22 dengan dukungan pembom diikuti oleh F-18 dan F-35 milik Angkatan Laut begitu pangkalan dan pertahanan udara Venezuela dinetralkan.
Terhadap pesawat kelas atas Amerika dan mengingat keakraban militer AS dengan F-16 sebagai platform tempur yang paling banyak digunakan dengan sekitar 1.000 pesawat, keunggulan F-16A bagi Venezuela akan diabaikan. Akan tetapi, jika armada Rusia atau sekutu lainnya memperoleh jet-jet ini, mereka akan menjadi pelatih agresor yang hebat dan akan memberikan pemahaman yang lebih besar tentang penerbang tempur generasi keempat Amerika yang ada saat ini.
Akuisisi jet tempur buatan AS oleh Rusia untuk pelatihan agresor tidak dengan sendirinya tanpa preseden. Misalnya pesawat tempur ringan F-5E, pendahulu generasi ketiga F-16, terbukti sangat berguna bagi Angkatan Udara Soviet selama pelatihan agresor pada tahun 1970-an, ketika pesawat diperoleh dalam jumlah besar dari Vietnam. Militer AS sendiri sangat berhati-hati untuk mengevakuasi pejuangnya yang lebih elit, yakni F-4E Phantom sebagai pendahulu F-15 dan memastikan bahwa tidak ada yang jatuh ke tangan Soviet.
Sementara F-5 tidak pernah menjadi andalan armada Amerika, dan terutama diproduksi hanya untuk sekutu dunia ketiga, F-16 juga melayani peran itu saat ini dan kemungkinan akan terus melakukannya dengan baik hingga tahun 2030-an, mungkin jauh lebih lama sebagai varian F-16V yang ditingkatkan jika program F-35 yang dimaksudkan untuk dapat menggantikannya tertunda lebih lanjut.
Rusia pada giliranya memberi lebih dari sekedar kompensasi pada Venezuela untuk F-16 Falcon, dengan menyediakan pejuang kelas berat seperti Su-30MK2 untuk memperluas armada yang ada atau menyediakan platform pelengkap yang lebih ringan seperti MiG-29 atau bahkan MiG-35 yang lebih canggih.
Pesawat-pesawat ini, semuanya modern, dapat dibandingkan dengan amunisi kelas atas Rusia dan tidak bergantung kepada suku cadang buatan Barat yang lebih bermusuhan dan akan membuktikan aset yang jauh lebih berharga bagi pertahanan Venezuela.
Sementara penjualan pesawat tempur F-16 pada pihak ketiga tanpa persetujuan Amerika dilarang berdasarkan kontrak saat F-16 tersebut disampaikan, Venezuela mungkin bakal melihatnya sebagai respon yang adil terhadap apa yang dianggapnya sebagai tindakan ilegal oleh Amerika sendiri.
Memang, Caracas sebelumnya berusaha menjual armada Fighting Falcon-nya ke Iran di pertengahan tahun 2000-an yang memancing kemarahan Washington. Menjualnya ke Rusia dapat dilihat sebagai perkembangan yang jauh lebih buruk oleh AS dan dari pihak Rusia dapat juga dilihat sebagai kompensasi atas hilangnya rahasia teknologi yang terjadi sama ketika Washington mendorong Mesir dan Indonesia untuk melanggar kontrak yang mereka buat dengan Moskow dan memberikan MiG-23 dan MiG-21 masing-masing kepada militer AS.
Apakah Venezuela akan mengejar atau bahkan mempertimbangkan tindakan ini tentunya masih harus dilihat, tetapi tetap merupakan kemungkinan yang menarik dan salah satu dari sedikit sumber menyebut Caracas mungkin harus menanggapi tindakan Washington.