Jakarta Greater

Berita Militer dan Alutsista

Pengembangan Teknologi Pertahanan Bagi Kemandirian Pertahanan Indonesia

Jerry Indrawan

Direktur Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan (PSKP) dan Dosen Politik Pertahanan UPN “Veteran” Jakarta

Jakartagreater.com – Penyelenggaraan pertahanan dan keamanan negara adalah tanggung jawab Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai komponen utama dalam sistem pertahanan negara. Untuk itu, TNI harus memiliki kekuatan dan kemampuan tempur yang optimal. Pembangunan kekuatan TNI dilakukan secara bertahap dan berlanjut yang disusun dalam rencana strategis lima tahunan, dan disesuaikan dengan sistem dan kebijakan nasional, kemampuan negara, serta situasi lingkungan strategis global, regional, dan tentunya juga nasional.

Pencapaian perwujudan kemampuan dan ketrampilan profesional, maupun struktur kekuatan TNI yang memiliki ciri pada teknologi, dengan sendirinya memerlukan personel dan alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang mumpuni. Alutsista ini mensyaratkan tingkat teknologi tertentu yang dibutuhkan dan perlu dikuasasi, serta mampu dikembangkan untuk 10 sampai 20 tahun ke depan, agar dapat menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan operasional.

Menghadapi tantangan tugas TNI ke depan, wujud nyata dominasi teknologi yang sangat menentukan dalam sistem TNI terutama adalah dalam bentuk sistem persenjataan yang digunakan meliputi peralatan utama dengan seluruh pendukungnya, serta kemampuan dan keterampilan prajurit TNI secara profesional. Tingkat teknologi tertentu itu tentunya membutuhkan industri pertahanan nasional yang kuat dan mandiri.

Hambatan dalam Pengembangan Teknologi Pertahanan

Lahirnya suatu teknologi modern harus diawali dengan penelitian dan pengembangan untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang telah dikaji secara mendalam dan terencana. Keberadaan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) selayaknya mendapat perhatian khusus untuk mengejar ketertinggalan kita pada teknologi militer yang begitu pesat perkembangannya. Peran Litbang menghadapi beberapa permasalahan untuk meningkatkan kemampuan meraih teknologi pertahanan, antara lain persoalan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia.

Di negara-negara maju, hasil temuan Litbang dalam soal teknologi militer sangat berpengaruh dalam menentukan kebijakan rencana strategis pertahanan negara yang akan datang. Hasil temuan tersebut dilanjutkan sampai pada tahap produksi dan digunakan pihak militer negara tersebut. Selanjutnya, hasil litbang tersebut dipromosikan ke negara lain untuk diperdagangkan. Hal ini akan menambah devisa negara dan menghidupi industri pertahanannya.

Di Indonesia, hasil temuan litbang belum ditindaklanjuti sampai pada tahap produksi, meskipun hasil temuan tersebut sanghat bermanfaat bagi perkembangan teknologi militer kita agar dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan pertahanannya. Memang dilematis, ketika fabrikasi hasil temuan litbang TNI memerlukan dana yang sangat besar, dan sisi lain jika membeli dari negara lain tentunya menjadi relatif menjadi lebih murah. Namun, perlu diingat jika kita membeli alutsista dari asing, Indonesia akan mengalami ketergantungan. Apalagi, negara pengimpor pasti memiliki kepentingan-kepentingan tersendiri yang berseberangan dengan kepentingan bangsa Indonesia. Atas dasar itulah, Indonesia harus mulai melakukan langkah-langkah konkrit untuk memenuhi sendiri kebutuhan industri pertahanannya, seperti yang sudah dilakukan oleh negara-negara maju (Samego, 2001: 228).

Kemudian, bidang pengadaan juga penting menjadi perhatian kita karena cukup banyak masalah terjadi di bidang ini. Hampir semua alutsista impor yang dimiliki TNI sarat dengan teknologi tinggi. Karena itu, dikaitkan dengan peralatan militer yang digunakan TNI terhadap spesifikasi dan teknologi yang menyertainya, masih terdapat dua masalah yang sering dijumpai ketika peralatan tersebut dioperasikan.

Masalah pertama, adalah alutsista belum sepenuhnya berdasarkan kebutuhan pengguna. Perbedaan kondisi dan letak geografis antara negara pembuat dan negara pengguna mengakibatkan perbedaan-perbedaan persyaratan teknis operasional yang ditetapkan negara pengguna. Di samping itu, juga ada perbedaan doktrin perang yang sering berpengaruh terhadap pemilihan peralatan militer yang tepat (Samego, 2001: 229).

Masalah kedua, alutsista belum sepenuhnya menggunakan syarat-syarat yang telah ditetapkan TNI, antara lain Syarat-Syarat Tipe (SST). SST lebih dikenal sebagai Operational & Technical Requirement, merupakan syarat yang harus dipenuhi sesuai ketentuan operasional di lapangan yang telah ditetapkan sebagai persyaratan standar bagi setiap jenis peralatan yang digunakan TNI. Selain itu, juga ada Syarat-Syarat Penerimaan (SSP), yang disebut juga sebagai “uji terima”, merupakan syarat yang diberlakukan bagi setiap barang yang masuk ke Indonesia, apakah memenuhi persyaratan standar yang diberlakukan atau tidak.

Maslaah ketiga, standardisasi material TNI juga merupakan syarat yang ditetapkan TNI. Standardisasi terhadap tiap barang yang digunakan untuk kebutuhan TNI dilaksanakan oleh Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) angkatan sesuai dengan kepentingan masing-masing matra. Saat ini, proses penyusunan standardisasi untuk masing-masing jenis material TNI berupa Military Standard & Military Specification belum dilaksanakan secara optimal.

Masalah keempat, biaya pemeliharaan (maintenance) yang tinggi. Peralatan sistem senjata yang sarat dengan teknologi tinggi selalu diikuti dengan biaya perawatan yang tinggi, prosedur perawatan yang rumit, pengadaan suku cadang yang membutuhkan waktu lama untuk mendapatkannya, dan bergantung pada negara produsen. Dari berbagai kendala tersebut, pemeliharaan merupakan aspek tersendiri yang harus menjadi kajian mendalam jika kita selalu mengimpor alutsista.

Pengembangan Teknologi Pertahanan

Berdasarkan bentuk ancaman yang mungkin dihadapi di masa depan, Indonesia perlu menentukan konsep pertahanan, serta jenis kekuatan dan kualitas kemampuan pertahanan yang mampu menangkal dan mengatasi ancaman tersebut secara tepat. Konsep pertahanan yang diperlukan adalah konsep yang memungkinkan dibangunnya kemampuan untuk mengawasi dan menjaga perbatasan negara dari kemungkinan pelanggaran wilayah dan infiltrasi.

Dalam rencana pengembangan postur alutsista dan industri teknologi pertahanan, pemerintah mengaitkan rencana pengembangan postur alutsista dengan program pencapaian kemandirian industri pertahanan. Selama tahun 2010-2014, tahapan stabilisasi dan optimalisasi industri pertahanan, penyiapan regulasi industri pertahanan, serta penyiapan alutsista baru di masa depan sengaja diarahkan untuk mendukung postur sesuai dengan MEF.

Pada fase kedua 2015-2019, pengembangan industri pertahanan sengaja diarahkan untuk memiliki kemampuan kerja sama produksi dan pengembangan produk baru, seperti medium tank, roket, dan kapal selam, guna mendukung pencapaian MEF dan meraih postur kekuatan pertahanan yang ideal. Terakhir, fase 2020-2024, untuk mendukung postur militer yang ideal, industri harus mampu secara signifikan dan mampu memproduksi alutsista berteknologi canggih lewat kerja sama internasional (Karim, 2014: 217).

Pemerintah harus menyadari bahwa postur kekuatan pertahanan yang ideal, yang diharapkan tercapai pada rentang waktu 2025-2029, tidak akan tercapai tanpa industri pertahanan yang mandiri, memiliki kemampuan teknologi untuk berkolaborasi secara internasional, serta mempunyai kemampuan pengembangan produksi yang berkelanjutan (sustainable). Selain itu, tujuan akhir pengembangan industri pertahanan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan alutsista dalam negeri, tapi juga menerobos pasar ekspor untuk bersaing secara internasional, dan menjadikan sektor industrial pertahanan sebagai salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi (Karim, 2014: 220).

Untuk mengejawantahkan konsep pertahanan seperti itu dibutuhkan penguasaan teknologi pengamatan laut, teknologi pengamatan udara, dan teknologi pertahanan udara, serta suatu tingkat kemampuan kekuatan yang setidaknya seimbang dengan pihak-pihak yang dipandang dapat menjadi potensi ancaman bagi Indonesia. Di samping pembangunan kekuatan yang semata-mata untuk kepentingan bertahan, kekuatan yang dibangun berdasarkan konsep pertahanan tersebut dapat berfungsi secara efektif sebagai kekuatan tangkal. Untuk itu, perlu dimiliki kemampuan dan kekuatan yang memadai dalam melakukan tindakan balas terhadap pihak-pihak yang potensial sebagai ancaman.

Selain itu, aktivitas litbang untuk mengembangkan teknologi pertahanan juga harus menjadi basis upaya menegakkan kemandian industri pertahanan, bukan hanya menjamin kedaulatan, melainkan juga menjadikan negara mampu mengembangkan ekonomi berbasis teknologi tinggi.Karena itu, upaya pengembangan teknologi pertahanan berdaya saing tinggi dengan dukungan R&D yang mapan sangat penting.

Bukan saja untuk menghadapi ancaman keamanan, tapi juga membuat Indonesia relevan dalam persaingan sengit di era globalisasi ekonomi di depan. Caranya dengan membangun ketangguhan daya saing lewat basis industri manufaktur berteknologi tinggi. Strateginya sudah jelas, yaitu mengoptimalkan nilai tambah dari industri pertahanan. Untuk itu, langkah awal yang harus dilakukan adalah mendorong substitusi impor untuk industri pertahanan dan mengupayakan komersialisasi (spin off) dari efek lanjutan (spillover effect) atau efek pengganda (multiplier effect) industri pertahanan, berupa produk yang bisa digunakan untuk kepentingan sipil (Karim, 2014: 223).

Pada dasarnya pengembangan industri pertahanan memang sangat memerlukan dukungan teknologi tinggi untuk memperkuat strategi dan arah pertahanan negara, termasuk kemandiriannya. Penguasaan teknologi pertahanan juga mensyaratkan partisipasi dari sumber daya manusia yang berkualitas. Kita sering mendengar istilah brain drain, yaitu tenaga kerja berkualitas yang tidak menemukan “rumah” untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasainya di negeri sendiri, sehingga memilih untuk bekerja di luar luar negeri. Dengan penguasaan teknologi, negara bisa mendorong indutri pertahanan menjadi hub yang berfungsi sebagai integrator elemen-elemen pendukung industri pertahanan nasional, termasuk tenaga kerja dengan penguasaan teknologi tinggi agar bisa berkontribusi optimal di dalam negeri.

Dalam menjalankan fungsi sebagai hub, industri pertahanan dapat memadukan penguasaan teknologi tinggi untuk membangun sistem pertahanan negara yang tangguh. Upaya memadukan penguasaan teknologi tinggi pada sistem pertahanan udara misalnya, dapat memperkuat pengawasan TNI terhadap lalu lintas pesawat udara di langit Indonesia. Begitu juga untuk pemantauan potensi pencurian ikan di wilayah maritim Indonesia, yang memerlukan penguasaan teknologi pemantauan lewat unmanned aerial vehicle (UAV), maupun radar.

Kita juga melihat penguasaan teknologi rancang bangun kendaraan tempur dan sistem persenjataan memerlukan basis pengetahuan dan teknologi tinggi, mulai dari aspek material kendaraan tempur, hingga sistem komputer dari remote control weapon system (RCWS). Peran sebagai hub atau integrator juga memungkinkan industri pertahanan mendukung pertumbuhan teknologi bagi industri komersial.

Intinya, pengembangan industri teknologi pertahanan memang membutuhkan komitmen kuat dari pemerintah. Komitmen ini tentunya terkait dengan pengembangan industri pertahanan sebagai payung pembangunan dan pengembangan teknologi pertahanan. Upaya pengembangan teknologi pertahanan berdaya saing tinggi dengan dukungan Litbang yang mapan sangat penting. Bukan saja untuk menghadapi ancaman keamanan, tapi juga membuat Indonesia relevan dalam persaingan sengit di era globalisasi ekonomi di depan.

 

 

 

Share:

Penulis: