Geo politik di kawasan Laut China Selatan tampaknya akan berubah dengan perjanjian baru antara Amerika Serikat, Inggris dan Australia, yang memberi kesempatan bagi Australia untuk membangun kapal selam bertenaga nuklir di Adelaide.
“Mengelola armada kapal selam bertenaga nuklir akan memungkinkan Australia memainkan peran yang lebih kuat dalam berkontribusi pada stabilitas dan kemakmuran kawasan — tidak hanya untuk diri kita, tetapi juga untuk teman-teman dan untuk tetangga kita”, ujar PM Australia Scott Morrison, 15/9/2021.
Amerika Serikat tampaknya ingin menambah tekanan terhadap Armada China, di saat Tiongkok terus menggaungkan bahwa sebagian besar wilayah Laut China Selatan merupakan wilayah mereka.
Tentu klaim ini dilakukan Beijing setelah mereka mengukur dan mempercayai bahwa armada lautnya memang kuat untuk mendominasi di kawasan Laut China Selatan.
Armada Laut China memiliki kapal induk berikut pesawat tempur, destroyer dan fregat modern, bomber, serta kapal selam siluman. Armada ini diyakini China dapat melindungi klaim mereka atas Laut China Selatan.
Laut China Selatan merupakan jalur perairan strategis yang dilalui oleh sepertiga pelayaran dunia, senilai lebih dari USD 4 triliun dalam perdagangan.
Amerika Serikat seakan terbangun setelah menyadari apa yang dilakukan China bisa merugikan kepentingan AS dan Sekutunya.
AS pun mulai gencar mengkampanyekan kebebasan bernavigasi di Laut China Selatan.
Kehadiran Armada kapal induk di Laut China Selatan diperbanyak sambil mengajak Sekutunya. Kapal induk Inggris HMS Queen Elizabeth juga mulai beroperasi di kawasan Laut China Selatan, antara lain dengan latihan serta mengunjungi sejumlah negara di kawasan.
Memasuki pertengahan bulan September 2021, kelompok tempur kapal induk AS beroperasi di Laut China Selatan, di mana Armada laut China juga berlatih di dekat mereka.
“Armada kelompok tempur kapal induk Carl Vinson beroperasi di laut lepas dekat dengan kapal, pesawat, dan kapal selam militer China PLAN, ungkap twit USS Carl Vinson, 12/09/2021.
AS hendak menunjukkan kepada China, bahwa aktivitas AS tidak akan terusik meski berada di dekat kapal perang, pesawat tempur dan kapal selam China.
Negara Paman Sam ini tidak mau laut China Selatan dikontrol oleh Armada Laut China.
China dan Amerika Serikat sama sama memiliki armada laut yang kuat dan modern. Keduanya punya kapal perang yang canggih dan modern, serta didukung oleh budget yang besar.
Jika dicari perbedaannya, maka bisa dikatakan, armada laut China belum pernah berperang di luar negeri. Namun China memiliki jalur suplai logistik yang lebih dekat, jika pecah perang di Laut China Selatan.
Kini, Amerika Serikat akan memiliki kekuatan tambahan dengan segera hadirnya kapal selam bertenaga nuklir Australia, atas perjanjian baru antara AS, Inggris dan Australia.
AS juga berupaya menghidupkan kembali eks pangkalan lautnya di Subic Bay, Filipina.
Jika ini terwujud, kekuatan AS di kawasan Laut China Selatan akan terdongkrak, karena suplai logistik untuk Armada AS menjadi lebih dekat.
Apabila terjadi perang antara armada AS dan China di kawasan Laut China Selatan, apakah Jepang dan Korea Selatan secara otomatis akan membantu Amerika Serikat?
Kemungkinan ini masih sulit ditebak, karena wilayah konflik bukan kepentingan langsung dari Jepang dan Korea Selatan. Selain itu Jepang dan Korea Selatan bukanlah lawan tanding dari China, karena kekuatan nuklir Tiongkok harus diperhitungkan.
Lalu bagaimana dengan Korea Utara?. Negara ini akan bergabung ke pihak mana?.
Sama kasusnya seperti Korea Selatan dan Jepang. Apa kepentingan Korea Utara terlibat dalam konflik di Laut China Selatan?
Presiden AS terdahulu, Donald Trump sempat aktif melobi Kim Jong Un. Mungkin AS berharap, jika harus pecah konflik dengan China, minimal Korea Utara netral, tidak bergabung dengan Tiongkok.
Skenario terburuk bagi AS jika pecah konflik di laut dengan China, adalah mereka harus bertempur sendirian melawan Armada China.
Dalam skenario ini, posisi pangkalan Laut AS di Filipina dan dukungan pasukannya di Australia akan menjadi vital.
Bagaimana dengan posisi Indonesia?
Tidak ada yang berharap armada AS dan China terlibat perang di Laut China Selatan akibat konflik yang memuncak dan tidak menemukan solusi.
Namun jika perang itu terjadi, sebaiknya Indonesia tidak ikut terseret ke dalam pertikaian armada laut “kelas berat” itu
Indonesia juga harus bisa mengkondisikan agar konflik tidak terbawa masuk ke wilayah Indonesia, karena dampak dan kerusakan yang ditimbulkan akan besar.
Perkarangan rumah harus dijaga dengan kekuatan yang memang diperhitungkan pihak asing. Jika pun terjadi konflik, kita masih bisa melawan dengan pukulan yang kuat.
*Foto: USS Carl Vinson di Laut China Selatan, 10/9/2021. (@USS Carl Vinson)