Kementerian Pertahanan Indonesia sedang membenahi sistem pertahanan udara nasional di tengah perkembangan alat utama sistem senjata (alutsista) dunia yang terus berpacu dengan teknologi.
Mau tidak mau, siap atau tidak, ke depannya militer Indonesia akan berhadapan dengan tantangan dari pesawat tempur hipersonik, rudal hipersonik, maupun alutsista canggih lainnya.
Pembangunan Sistem Pertahanan Udara
Untuk itu dalam urusan membangun sistem rudal pertahanan udara, Indonesia bekerja sama dengan Turki, antara lain meliputi: Roketsan Trisula-O Missile System (OMS), Trisula-O Weapon System (OWS), Trisula-U Missile System, Trisula-U Weapon System (UWS) dan lainnya.
Hisar-O merupakan sistem rudal pertahanan udara jarak menegah keluarga HISAR Air Defense Missile System, dengan jangkauan 20+km. Versi Indonesia diberi nama Trisula-O Missile System (OMS).
Sementara Hisar-U merupakan sistem rudal pertahanan udara jarak jauh dengan jangkauan 100+km dan bisa menarget sasaran high altitude. Versi Indonesia diberi nama Trisula-U Missile System.
Kontrak kerja sama ini ditandatangani dalam gelaran Indo Defence 2022, di Jakarta, 2/11/2022.
Lalu bagaimana dengan radar Indonesia dan satelitnya?
Pembangunan Satelit Militer
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menggambarkan bahwa medan peperangan kini tidak lagi terkotak-kotak antara domain darat, laut dan udara. Peperangan sudah bercampur dan kabur, sehingga NATO pun menyebutnya AIRLAND Battle. Peperangan “Air” dan “Land”, sudah menjadi satu.
Oleh karena itu, untuk merancang sistem tempur yang komprehensif, Kementerian Pertahanan Indonesia sedang menyiapkan sistem satelit mini dan mikro. Jumlah satelit itu dalam hitungan yang cukup sehingga ada redundancy (kelebihan) apabila satu atau dua satelit ditembak musuh, masih ada penggantinya.
Hal ini disampaikan Menteri Pertahanan Prabowo saat menjadi keynote speaker di Seminar Nasional TNI AU 2022: “Tantangan TNI AU dalam Perkembangan Teknologi Elektronika Penerbangan”, Jakarta, 8/11/2022.
Satelit dibutuhkan karena medan pertempuran mencakup medan peperangan terlihat dan juga yang tidak terlihat. Selain itu, pengembangan satelit militer juga memungkinkan semua unit kombatan bisa memanfaatkan ruang udara.
Baca juga: Pembangunan Armada Udara, Satelit Militer dan Pertahanan Udara RI
Pengembangan Radar
Pakar Penginderaan jauh atau remote sensing Prof. Josaphat Tetuko Sri Sumantyo ikut hadir sebagai pembicara dalam Seminar Nasional TNI AU 2022: “Tantangan TNI AU dalam Perkembangan Teknologi Elektronika Penerbangan”, Jakarta, 8/11/2022.
Menurut Prof. Josaphat Indonesia bisa serta memiliki kemampuan untuk membangun sistem radar Indonesia sendiri. Begitu pula dengan satelit mikro yang canggih untuk pertahanan.
Prof. Josaphat sedang mengembangkan Multi-Platform Circulary Polarized Synthetic Aperature Radar, yang telah dipasang pada drone JX-1 dan JX-2 (membawa beban 25 hingga 35 kg).
Drone ini bisa terbang selama satu jam dengan sistem multi band sehingga memiliki kemampuan menjejak obyek darat secara detil.
Circularly Polarized-Synthetic Aperture Radar (CP-SAR) juga bisa dioperasikan pada skuadron udara bahkan skuadron ruang angkasa.
Multi-Platform Circulary Polarized Synthetic Aperature Radar ini telah dicoba pada pesawat CN-235 pada tahun 2018, serta Boeing 737 TNI AU.
Keunggulan sensor radar circular polarization adalah mampu mengurangi getaran pesawat pembawa radar.
Circulary Polarized Synthetic Aperature Radar (CP-SAR) untuk pencitraaan (imaging), memiliki kemampuan menembus awan, serta bisa beroperasi pada malam hari.
Bahkan radar bisa digunakan untuk menjejak teroris yang masuk ke hutan, memonitor bencana, sumber daya alam, maupun search and rescue saat kondisi cuaca sedang kurang bagus.
Selain itu juga untuk mengamati wilayah daratan secara real time, mengidentifikasi illegal fishing, illegal aircraft, serta bantuan informasi untuk pasukan yang dikirim dan sedang berada di luar negeri.
Radar ini telah dibuat dan dioperasikan oleh Josaphat Microwave Remote Sensing Laboratory (JMRSL).
Baca juga: Pesawat Tempur Rafale, Jet Tempur KFX/IFX dan Kemandirian Indonesia
High Altitude Platform (HAPS)
Selain pada drone dan pesawat, Multi-Platform CP-SAR juga bisa dipasang pada High Altitude Platforms (HAPS), yakni wahana berbentuk pesawat fix wing yang terbang di ketinggian 25 km untuk waktu ketahanan 6 bulan. HAPS bisa digunakan untuk memonitor wilayah daratan secara near real time dan bisa juga sebagai pengganti satelit.
Satelit Mikro
Multi-Platform Circulary Polarized Synthetic Aperature Radar juga dikembangkan Prof. Josaphat untuk teknologi satelit.
Satelit umumnya memiliki berat 1 hingga 6 ton. Namun satelit dengan Circulary Polarized Synthetic Aperature Radar ini memiliki berat hanya 150 kg, atau 1/6 dari berat satelit umumnya.
Satelit memiliki kualitas penginderaan yang lebih bagus karena Circulary Polarized Synthetic Aperature Radar menggunakan 360 polarisasi, sementara satelit umumnya menggunakan dua polarisasi.
Menurut Prof. Josaphat, Teknologi Synthetic Aperture Radar (SAR) ini telah dipakai oleh berbagai institusi ruang angkasa dunia, yakni: JAXA, KARI, NSPO, ESA dan sebagainya.
Beda dengan Starlink
Satelit yang dikembangkan Prof. Josaphat berbeda dengan satelit Starlink yang dikembangkan Elon Musk.
Satelit Starlink lebih kepada internet atau komunikasi, sementara satelit yang dikembangkan Prof. Josaphat lebih kepada remote sensing (pencitraan/imaging).
Untuk keperluan keamanan (security) pulsa radar bisa dibuat anti-jamming dan sebagainya.
Slot untuk micro satelit ini berbeda dengan satelit geostationary yang diam di satu tempat dan telah padat. Micro satelit bersifat polar alias memutari bumi dengan orbit yang bisa diatur.
Indonesia menurut Prof. Josaphat membutuhkan sedikitnya 6 satelit mikro untuk lebih bebas memonitor seluruh wilayah Indonesia setiap harinya.
Prof. Josaphat juga berencana meluncurkan radar ke bulan (lunar observer) juga ke Mars. Targetnya adalah untuk mempertahanakan tidak saja bumi tapi juga bulan dan Mars sebagai kehidupan di masa depan.
Ancaman: GeoPolitik dan Friksi
Dalam pandangan Prof. Josaphat, ada berbagai macam friksi di dunia, termasuk antara Jepang dan Korea Utara di mana rudal udara Korea Utara terkadang mendekati atau melewati Jepang. Begitu juga dengan UAV China yang melintas ke wilayah Jepang.
Hal yang sama terjadi di wilayah Tawain-China, Spratly islands, serta Azerbaijan-Armenia. Wilayah India dan Pakistan juga demikian. Adapun yang paling panas adalah perang Ukraina dengan Rusia.
Pertahanan Indonesia
Setiap kali ada pertempuran di dunia akan ada game changer. Adapun game changer pertama adalah penggunaan Chariot pada medan pertempuran di 3000 BC, kemudian Gun Powder pada 800 AD dan seterusnya.
Akhir-akhir ini game changer itu adalah rudal dan pesawat hipersonik.
Ke depannya Indonesia bisa saja berhadapan dengan tantangan dari pesawat tempur hipersonik ataupun rudal hipersonik. Dengan radar dan satelit yang canggih, maka ancaman itu bisa dinetralisir, jika konflik terjadi.
Video Pemaparan Prof. Josaphat
*photo cover: ilistrasi – Pesawat tempur (pixabay.com)